Pages

Friday, July 22, 2016

His Name Is Kevin (Spin-off short story from Brink of Senses)

A/N: Jadi ceritanya, saya suka nulis cerpen lepas dari novel saya, Brink of Senses. Nah, ada beberapa cerpen yang sempat saya tulis, tapi yang inilah yang berhasil terselesaikan. Hahaha!
Kalau kalian belum baca Brink of Senses, it’s okay. Cerpen ini bisa diikuti tanpa membaca novelnya dulu.
Tapi kalau penasaran, jangan lupa beli novelnya di toko-toko buku terdekat!
Yang putih kovernya, lho!
Yang begini ini:


Ingat ya. Judulnya Brink of Senses. Ada 'S' di belakangnya. Penulisnya namanya Mertha Sanjaya alias saya sendiri. Ehehe. Kovernya hitam-putih dengan ilustrasi balerina merah. Kalau ketemu di tokbuk, langsung bawa pulang lho. Inget. Hehe ^_^

And here goes the story!
Enjoy!




His Name Is Kevin
(Spin-off short story from Brink of Senses)





Albert Krupin membenci hidupnya.
Sebelum berangkat sekolah tadi, anjing peliharaannya merusak sofa karena dia lupa mengikatnya—ibunya memarahinya habis-habisan, dan ponselnya pun disita selama seminggu sebagai hukuman. Itu masih belum seberapa. Yang terparah adalah neneknya dari Rusia akan datang sore nanti dan tinggal permanen di rumahnya. Albert tidak menyukai neneknya yang suka mengomel dan bahasa Inggris-nya kacau balau. Terakhir kali neneknya mampir ke rumah keluarga Krupin di New York City sini, dia mengomeli Albert sepanjang malam. Dan sekarang neneknya akan tinggal selamanya di New York?

Mampuslah aku,” gumam Albert, melangkah di parkiran SMA St. Abigail yang penuh kendaraan. Yang dia perlukan saat ini adalah sesuatu untuk pelampiasan amarahnya atau semacam wadah curhat. Sebut saja, teman-nya itu, si anak baru pindahan dari Wales. Kevin Huston bukan anak rajin, karena di kelas, dia selalu terlihat mengantuk dan bosan. Tetapi Kevin adalah wadah curhat gratisan yang cukup baik. Dia tidak pernah mengeluh setiap kali Albert berceloteh padanya. Albert memerlukan anak itu sekarang atau dia akan meledak di tempat saking tidak tahannya menahan amarah dan kegelisahan.
Saat itulah dia melihat mobil perak metalik keren yang diparkir agak jauh dari kendaraan-kendaraan lainnya. Ada kalimat diukir di plat belakang mobil itu:
BACK OFF!
Albert tahu siapa pemilik mobil itu, dan mengingatnya membuatnya makin murka.
Dean Clayton.
Dia cowok populer yang dijuluki raja di sekolah ini. Clayton memegang kendali di hampir seluruh sekolah—kecuali guru-gurunya, tentu saja. Dia juga pernah mempermalukan Albert di kelas satu dan menyebutnya ‘pecundang’ di depan sekelompok gadis. Sejak saat itu juga Albert sudah dicap sebagai salah satu cowok paling payah se-SMA St. Abigail.
Tidak ada siapa pun di sekitar tempat parkir itu. Seberkas seringai mengembang di bibir Albert.
Saatnya balas dendam. Sekaligus untuk melampiaskan amarah,” bisiknya. Kemudian, dengan kekuatan penuh, dia menendangi ban mobil perak itu. Anggap saja ban itu adalah bokong besar Clayton. “Makan itu! Dasar kau bocah bedebah!”
Albert kemudian mengeluarkan spidol dari tasnya. Melirik-lirik, dia mendapati parkiran masih sesepi tadi. Sambil menyeringai lebar, dia mencorat-coret kaca windshield mobil itu dengan berbagai tulisan dan gambar jorok. Sambil menahan tawa, tangannya bergerak secepat kilat.
KRUPIN!!”
Albert membeku di tempat. Suara itu… dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Tanpa pikir panjang, Albert Krupin melesat secepat kilat meninggalkan tempat parkir dan sosok yang menjulang beberapa kaki darinya.
KAU AKAN MATI, KRUPIN!!” Dean Clayton meraung keras.
***
Albert berjalan cepat melintasi lorong-lorong sekolah. Tiap kali kakinya menginjak lantai, terdengar suara menceklik dari gesper sepatu bot tebalnya. Jaket kulit yang dia kenakan membuat badannya terasa dua kali lipat lebih berat dan agak gerah. Dua detik sekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Clayton. Sejauh ini dia aman. Sosok Clayton tidak terlihat di belakangnya. Sialan. Kalau sampai Clayton menangkapnya, riwayat seorang Albert Krupin benar-benar akan tamat.
Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya berbenturan dengan tubuh seseorang. Albert mundur sejurus, memasuki mode bertahan dengan menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya.
Aku menyerah! Aku menyerah!!” serunya tanpa memerhatikan siapa yang sudah dia tubruk.
Al!” jerit orang itu. “Kau kenapa, sih?”
Albert mendelik mendengar suara itu. Dia menurunkan kedua tangannya dan mengembus napas keras. “Astaga! Ternyata kau, Kevin! Man, kau hampir bikin aku—Hei, ini kan ruang kepala sekolah! Kau baru buat masalah sampai dipanggil kepala sekolah?” Albert berseru ketika membaca tulisan RUANG KEPALA SEKOLAH di atas pintu besar di belakang Kevin.
Nope. Aku cuma cari informasi,” jawab Kevin, menyeringai. Albert selalu berpikir, temannya satu ini punya seringai yang mengerikan. Saat bertemu dengan Kevin untuk pertama kalinya, Albert mengira baru saja melihat saudara jauh Chuck Norris atau stuntman film action yang biasanya jadi antagonis dan bernasib dihajar sampai mampus oleh si protagonis—kontur wajahnya tidak rata, ada gurat-gurat putih di rahangnya. Rambut cokelatnya juga selalu acak-acakan seperti sarang burung, tidak seperti rambut pirang Albert yang dicukur hingga hampir botak. Dan Albert yakin Kevin tidak pernah mengenal benda yang namanya ‘sisir’.
Informasi? Informasi apa?”
Tidak penting. Lupakan saja,” jawab Kevin, masih menyeringai.
Kevin muncul di kelas bahasa Mrs. Raymond seminggu lalu. Anak yang aneh, agak temperamental, dan sepertinya dia punya obsesi pada warna merah. Karena Kevin tidak pernah mau berhenti menyebut warna merah sejak hari pertamanya di sekolah ini. Meski aneh, dia telah berhasil memperoleh predikat cowok populer, padahal—menurut Albert—cowok itu biasa saja. Malahan dia terlihat seperti begundal kawakan. Sepertinya ini karena sejak hari pertama Kevin di SMA St. Abigail, dia sudah akrab dengan Carla Friday, gadis paling populer yang berpangkat ‘Ratu Lebah’.
Lucunya, Kevin lebih memilih Albert daripada cowok-cowok populer lainnya. Mungkin karena di awal kemunculan Kevin di sekolah, Albert-lah orang pertama yang mengajaknya bicara—selain Carla, tentunya.
Tetapi Albert tidak tahu, apakah Kevin memang benar-benar ingin berteman dengannya atau hanya sedang mencoba membunuhnya perlahan-lahan.
Omong-omong, Al, kenapa tampangmu begitu? Kau kelihatan seperti baru dikejar setan,” sambung Kevin.
Ya, Clayton itu memang sebangsa setan. “Bukan. Ada cewek kelas satu yang mengejar-ngejarku. Dia ingin mengajakku kencan, padahal aku sudah menolaknya berkali-kali,” kilah Albert, memutuskan meninggalkan lorong cepat-cepat.
Aku tidak percaya.” Kevin terkekeh, berjalan menyamai kecepatan Albert.
Sesukamulah!” Albert melempar kedua tangannya ke udara. Perlahan rasa takut yang berputar dalam dadanya menguap lenyap. Namun kemudian, kegelisahan yang dia rasakan sebelum berangkat sekolah kembali lagi—keluarganya. “Tahu tidak? Ibuku marah besar padaku, dan nenekku dari Rusia akan datang!”
Oh, nenekmu yang cerewet itu. Siapkan saja sumpal telinga—Hai! Trims! Kau juga!” Kevin menyahuti ucapan Albert dan membalas sapaan dua orang yang melintasinya secara bersamaan (“Hei, K. H.!”, “Dude, kau kelihatan keren hari ini!”).
Albert meraung, “Ya ampun! Aku benci hidupku! Apa lebih baik aku pindah saja dari New York dan mengganti nama belakangku?”
Tiba-tiba, seperti baru dihantam tongkat bisbol, Albert merasakan perih di bagian belakang kepalanya.
Cuma begitu saja kau mau pindah dari sini?”
Mengelus kepalanya, yang ternyata baru saja dipukul oleh Kevin, Albert mendengus pada temannya, “Memangnya kenapa? Aku benci hidupku saat ini!”
Kau belum merasakan betapa susahnya hidupku sebelum pindah ke sini. Setelah kau merasakannya, baru kau boleh pindah.” Wajah Kevin merah, bibirnya melengkung ke bawah. Matanya yang disipitkan terlihat agak menyeramkan.
Albert menatap Kevin dengan tak percaya. Omongan pemuda itu terdengar terlalu muluk-muluk seperti kalimat dalam film picisan. “Jangan ngawur! Kau tidak terdengar seperti Kevin yang kukenal belakangan ini.”
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki banyak orang dari belakang Albert dan Kevin. Albert menoleh ke sumber suara, dan mata birunya melotot sebesar jeruk.
Sial! Itu Clayton!”
Dean Clayton berjalan di depan empat anak laki-laki bertampang sangar. Wajah Clayton sendiri merah dan mulutnya komat-kamit tanpa henti. Rambutnya yang kuning dan berdiri di tengah kepalanya membuatnya terlihat mirip ayam jantan. Dilihat dari langkah cepat dan tatapan yang terarah padanya, Albert tahu Clayton sedang mencarinya.
Albert memutar haluan. Kakinya sudah siap membawanya kabur sejauh mungkin dari Clayton. “Sorry, Kev. Aku harus pergi sekarang. Nanti kuceritakan lagi sisanya. Oke?” Dan dia kabur secepat kilat.
***
Tetes-tetes air bergema di toilet anak laki-laki. Albert duduk di dalam salah satu bilik toilet anak laki-laki. Hari sialnya terasa semakin parah karena dia harus sekelas dengan Clayton—dengan Kevin juga, sih, sebenarnya—di beberapa jam pelajaran. Dia sudah menghabiskan beberapa jam bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain demi menghindari Clayton. Pertama dia sembunyi di toilet, lalu di perpustakaan, di gym, dan akhirnya di toilet lagi. Tidak sanggup rasanya bertatap mata dengan Clayton. Kalau sampai Albert tertangkap, Clayton pasti akan menghajarnya habis-habisan sampai dia tidak bisa bergerak lagi, lalu akan melemparnya ke Sungai Hudson.
Pintu toilet mendadak digedor dari luar. Albert merinding. Jangan-jangan itu Clayton dan antek-anteknya yang sudah siap menghajarnya. Oh, tidak! Kalau begini, Albert akan benar-benar tamat!
Al! Kau di dalam?”
Itu suara Kevin! Albert bangkit dari posisi duduknya, tangannya meraih kunci pintu. Kemudian dia teringat Kevin dan Clayton berteman. Selain berkat Carla, Kevin bisa jadi sepopuler sekarang juga berkat Clayton. Clayton sudah merekrutnya menjadi anggota gengnya dengan pangkat tinggi—bukan kacung seperti kebanyakan anak baru yang ingin jadi populer. Jelas mereka akan saling bahu-membahu untuk menghancurkan Albert. Meski selama ini Kevin belum pernah sekali pun bertindak di luar batas wajar dan masih bersikap normal pada Albert. Tetapi siapa tahu kalau itu semua cuma akal-akalan Kevin. Bisa jadi di luar bilik sempit berbau tengik ini, Kevin sedang bersama Clayton.
Hei! Siapa di dalam?” Kevin berseru lagi.
Albert merunduk, menempelkan dirinya di lantai toilet yang dingin. Dengan susah payah, dia mengintip ke luar dari celah sejengkal di antara pintu dan lantai toilet. Hanya ada sepasang kaki bersepatu kets putih. Kevin sendirian.
Sedetik kemudian, Albert menghambur keluar dari bilik toilet itu dan megap-megap seperti ikan.
Ya ampun! Kau tidak muncul di kelas, dan ternyata kau sembunyi di sini?” tanya Kevin, mengamatinya dari atas ke bawah dengan tatapan jijik. “Apa-apaan kau?”
Albert bersandar di dinding terdekat. “Clayton… Dia tidak ke sini bersamamu, kan?”
Oh, dia. Dia mencarimu sejak tadi. Entah kenapa,” kata Kevin dengan tenang. “Tapi, tidak. Dia bolos jam pelajaran kelima bersama dua temannya. Kurasa mereka pulang duluan, seperti kemarin.”
Albert mengembus napas lega. Barusan Kevin terdengar seperti seorang penyelamat. Semoga semua ini bukan salah satu dari akal-akalan Kevin untuk menghancurkannya. Kebanyakan cowok populer seperti itu, kan? Tapi setidaknya berharap bukanlah dosa.
Aku sudah keliling sekolah mencarimu. Ponselmu juga tidak bisa dihubungi. Kupikir kau sudah pulang atau bolos,” lanjut Kevin, menyentak sadar Albert.
Seburuk apa pun aku, Kev, aku tidak pernah bolos!” sergah Albert, lalu dia mendesah panjang. “Setidaknya Clayton sudah pergi.”
Kevin mengerutkan keningnya. Matanya yang hijau sendu menunjukkan keingintahuan. “Ada apa denganmu dan Dean?”
Albert melirik-lirik sekitarnya, was-was. “Ka-kau mau tahu?”
Temannya berkacak pinggang. “Ya, tapi tidak di sini. Aku tidak suka dengar cerita di toilet. Lebih baik kau ceritakan saja di kantin sambil makan siang.”
Setelah dipikir-pikir, Kevin ada benarnya juga. Albert sangat lapar setelah bersembunyi berjam-jam. Sebelum menghadapi kenyataan, lebih baik mengisi perut dulu.
***
Dia mengantre dengan sabar di kantin—menunya sosis dan kentang tumbuk dengan sekotak susu—bersama Kevin. Mata Albert tidak bisa berhenti bergulir ke sana-kemari untuk memastikan dirinya memang aman. Kantin itu ramai sekali. Anak-anak menduduki meja-meja, menikmati makan siang mereka sambil berbincang-bincang. Sesekali jepretan kamera ponsel terlihat di beberapa meja. Dari banyaknya orang di kantin itu, Clayton tidak terlihat sama sekali. Mungkin Kevin benar tentang Clayton yang bolos seperti biasanya.
Dude!” Albert berseru setelah mendapatkan jatah makan siangnya. “Aku bahagia!”
Kevin memimpin ke salah satu meja persegi di pojok kantin. “Sedetik lalu kau ketakutan seperti sedang dikejar setan, dan sekarang kau bahagia?”
Memangnya kenapa? Aku tidak boleh bahagia?” Albert duduk di seberang temannya di meja persegi itu. Posisi meja yang cukup jauh dari meja-meja lainnya membuatnya merasa seperti orang yang terasingkan di sekolah ini.
Tidak ada yang melarangmu bahagia, Al,” kata Kevin. “Kau cuma tidak mau alasanmu berbahagia diketahui orang lain, jadi mereka tidak akan mencuri kebahagiaanmu. Tapi aku tidak akan mencurinya. Karena aku sendiri sudah bahagia di kota baruku ini, di New York.”
Kau bicara seolah kau pernah melakukan tindak kriminal di kampung halamanmu!” Albert tertawa terbahak-bahak. Ya ampun. Mengapa rasanya lega sekali setelah berada di kantin yang bebas dari keberadaan Clayton? Saking leganya, Albert merasa sebentar lagi akan melayang-layang di udara.
Pernah, kok.”
Angan-angan Albert kandas seketika. Dia menatap temannya dengan tatapan tak percaya. “Apa katamu?”
Kevin tidak menjawabnya. Tatapannya penuh nostalgia yang kesannya agak seram bagi Albert pribadi. Selama ini Kevin memang belum pernah menceritakan seperti apa hidupnya di Newport selain bahwa dia membenci kampung halamannya dan segala tentangnya. Tiap kali Albert menanyakan alasannya, Kevin tidak pernah mau memberitahunya.
Tiba-tiba Albert merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Kerasnya suara nampan alumunium mendarat di meja plastik ditambah remah-remah kentang tumbuk yang mencolot ke mana-mana mengagetkannya.
Hei, boleh numpang di sini? Meja lainnya penuh.”
Albert terperanjat dan nyaris terkencing di tempat. Clayton tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Badannya bau tengik, seperti campuran keringat dan cologne yang memuakkan. Saat itu juga, Albert merasakan rambut halus di lengan dan tengkuknya meremang. Kevin menipuku!
Boleh saja,” jawab Kevin sambil mengangkat bahu. “Kukira kau bolos.”
Bolos? Aku?” Clayton terdengar tersinggung. Albert tidak berani berkutik di kursinya dan tidak berani menatap musuh bebuyutannya itu. “Kaupikir aku seburuk itu, eh?”
Cuma dugaanku,” sahut Kevin cepat.
Clayton tertawa, lalu menepuk punggung Albert keras-keras sampai dia batuk-batuk. “Krupin, ke mana saja kau tadi, huh? Aku sudah mencarimu ke mana-mana!”
Albert masih tidak berani menatap Clayton. Dia juga tidak berani bersuara. Tubuhnya malah gemetaran dan rasanya dia ingin menangis sambil berteriak-teriak.
Jangan ganggu dia. Kondisinya sedang buruk.”
Clayton dan Albert segera berpaling pada Kevin Huston.
Kevin makan dengan tenang, dan berkata, “Ada cewek kelas satu yang mengejarnya terus-menerus. Kasihan Al. Dia harus mati-matian kabur agar tidak tertangkap. Cewek itu mengerikan, soalnya.”
DamnMan! Kau memang sial sekali!” Clayton tertawa keras sekali sampai telinga Albert pekak. Lalu dia menjerat leher Albert dengan lengan besarnya. “Kasihan sekali kau, Bung! Kasihan sekali!”
Albert sesak napas. Kurang ajar! Aku bisa mati!
Clayton membebaskannya beberapa saat kemudian—Albert batuk-batuk sambil mengelusi lehernya. “Hei, Huston, bagaimana kalau nanti malam kita adakan pesta kecil-kecilan di rumahku? Kita bisa ajak bocah ini juga.” Clayton menepuk-nepuk kepala Albert. “Nanti aku akan mengajak teman-temanku yang lain juga. Kita makan barbekyu, nonton film bareng, lalu jalan-jalan sampai tengah malam! Kalau kita beruntung, kita bisa lihat balapan di pusat Manhattan! Dan Krupin bakal jadi tamu istimewa kita!”
Albert tahu apa yang sedang Clayton pikirkan. Cowok itu tidak mungkin mengundangnya baik-baik. Dia pasti akan menghabisi Albert di rumahnya setelah memperbudaknya sampai kehabisan tenaga. Tentu Albert akan menolak. Mana mungkin dia jatuh ke jebakan Clayton semudah ini. Namun suaranya enggan keluar. Celaka!
Bagaimana menurutmu, Huston?” tanya Clayton kepada Kevin. “Kau yang tentukan, soalnya kau yang menemukan bocah ini duluan.”
Yang bisa Albert lakukan sekarang adalah memaki tanpa jeda di dalam kepalanya dan berharap Kevin menolak ajakan Clayton. Kalau sampai Kevin setuju, matilah Albert.
Maaf.”
Satu kata itu sukses membuat Albert membuang seluruh pikiran buruknya. Dia menatap Kevin dengan takjub, mulutnya ternganga.
Kami tidak akan datang, Dean. Aku tidak suka pesta, apalagi yang sampai tengah malam,” kata Kevin. Makan siangnya sudah habis separuh. “Kau tidak tahu apa yang ada di balik… kegelapan malam. Kalau kau mau pesta sampai tengah malam, ajak yang lain saja.”
Oh, ayolah, Huston! Kita akan beri sedikit pelajaran juga pada Krupin!”
Jawabanku tetap tidak.”
Clayton memberengut dan komat-kamit. Dengan cepat, dia bangkit sampai kursinya terbanting ke lantai. “Awas kau,” bisiknya pada Albert, kemudian pemuda itu menyambar nampannya, dan melangkah pergi.
Setelah Clayton cukup jauh dari meja Albert, Albert akhirnya bisa bernapas lega. Kebahagiaan yang tadi sempat dia rasakan kembali memenuhi relung dadanya. Tubuhnya terasa ringan dan dia siap melayang ke udara lagi saking bahagianya.
Man, kau menyelamatkanku!” teriaknya pada Kevin sambil melempar kedua tangannya ke udara. “Aku tahu Clayton pasti berencana menghancurkanku sampai ke tulang-tulang! Kau benar-benar telah menyelamatkanku! Gila! Aku bisa merasakan diriku yang lama, diriku yang ceria dan percaya diri, telah kembali! Sialan si Clayton itu! Suatu hari nanti akan kubalas dia! Akan kubalas dia dengan lebih kejam lagi!”
Kau mau apa? Melempari jendela rumahnya dengan telur busuk?” Kevin terkekeh. “Memangnya ada apa denganmu dan Dean? Kalian pasti terlibat masalah besar, ya?”
Albert ikut tertawa pelan. Dia memperbaiki posisinya di kursi, dan mulai menyantap makan siangnya yang sudah dingin. “Soal aku dan Clayton, sebenarnya tadi pagi aku mencorat-coret mobil bocah bedebah itu dengan spidol. Aku ketahuan, lalu aku kabur. Begitulah kronologisnya.”
Mata Kevin melebar. “Ah, pantas saja kau kabur waktu Dean datang tadi pagi.”
Setelah meneguk susu untuk membasahi tenggorokannya, Albert berkata, “Untung saja kau bersamaku, Kev! Kalau kau tidak ada, aku pasti sudah tewas!”
Kevin mendengus. “Aku, kan, tidak melakukan apa-apa.”
Kevin Huston memang aneh. Albert tidak henti-hentinya bersyukur telah mengenal cowok satu ini, cowok pindahan beraksen Welsh yang awalnya terdengar seperti kodok dari sejenis hutan hujan. Tidak hanya mau berteman dengannya, Kevin juga sudah menyelamatkan nyawanya! Sepertinya, seluruh dugaan buruk Albert tentang Kevin tidak benar. Buktinya, Kevin menyelamatkan nyawanya!
Bung, kau memang aneh!” Tanpa sadar Albert mendesah lega. “Kapan-kapan kau harus mampir ke rumahku. Nenekku pasti akan menyukaimu!”
Ide bagus,” balas Kevin sambil tersenyum lebar.
Omong-omong, aku heran kenapa kau mau berteman denganku. Kau tahu, kan, aku ini bukan cowok populer atau apa. Banyak yang menganggapku payah, padahal aku tidak payah. Kau tidak takut kepopuleranmu luntur karena berteman denganku?”
Tatapan mata Kevin mendadak terlihat mengerikan. Seolah dia ingin menerkam Albert saat itu juga, lalu mencabik-cabik wajahnya sampai dia tidak dikenali lagi. Albert buru-buru menampar mulutnya sendiri. Mengapa pula dia menanyakan hal itu tadi? Celaka! Mulutnya memang sering hilang kendali.
Aku tidak percaya dengan mitos cowok populer dan tetek bengek semacam itu,” jawab Kevin. Tatapannya masih mengerikan. “Aku cuma ingin menjalani hidup baruku dengan bahagia. Dan menurutku, berteman dengan orang payah tidak akan membuatmu kelihatan payah juga. Semua itu cuma mitos! Tidak ada yang namanya berteman malah membuat petaka. Persahabatan yang sesungguhnya akan membuka peluang untuk sukses, bukan malah mencelakakan.”
Albert tertawa saja mendengar jawaban Kevin. “Aku tidak mengerti, tapi kurasa ucapanmu ada benarnya juga.”
Baguslah kalau kau sadar.” Kevin berdiri dari kursinya, membawa nampan kosongnya dengan dua tangan. “Sabtu ini aku akan ke Battery Park bersama Carla. Kau mau ikut? Akan kukenalkan kau pada Scarlett.”
Mendengar nama itu, Albert terlonjak di tempat. “Scarlett? Gadis penari yang kau bicarakan di kelas Mrs. Raymond waktu itu?” Dia bersiul singkat. “Tentu saja aku ikut, Man! Aku juga mau ketemu dengannya dan kenalan dengannya!”
Kevin tertawa. “Tentu saja. Temanku adalah teman Scarlett juga.”
Albert tidak kuasa menahan tawa lepasnya. Dia merasakan dirinya kembali melayang di udara. Ini kebahagiaan, dan kebahagiaan itu baru dia peroleh dari temannya yang aneh. Meskipun keadaan rumahnya kacau, meski Clayton masih mendendam padanya dan akan menghabisinya suatu hari nanti, dia tahu masih ada Kevin Huston yang bisa diandalkan dan bisa dia sebut sebagai teman. Seorang teman yang sesungguhnya.