Pages

Friday, July 22, 2016

His Name Is Kevin (Spin-off short story from Brink of Senses)

A/N: Jadi ceritanya, saya suka nulis cerpen lepas dari novel saya, Brink of Senses. Nah, ada beberapa cerpen yang sempat saya tulis, tapi yang inilah yang berhasil terselesaikan. Hahaha!
Kalau kalian belum baca Brink of Senses, it’s okay. Cerpen ini bisa diikuti tanpa membaca novelnya dulu.
Tapi kalau penasaran, jangan lupa beli novelnya di toko-toko buku terdekat!
Yang putih kovernya, lho!
Yang begini ini:


Ingat ya. Judulnya Brink of Senses. Ada 'S' di belakangnya. Penulisnya namanya Mertha Sanjaya alias saya sendiri. Ehehe. Kovernya hitam-putih dengan ilustrasi balerina merah. Kalau ketemu di tokbuk, langsung bawa pulang lho. Inget. Hehe ^_^

And here goes the story!
Enjoy!




His Name Is Kevin
(Spin-off short story from Brink of Senses)





Albert Krupin membenci hidupnya.
Sebelum berangkat sekolah tadi, anjing peliharaannya merusak sofa karena dia lupa mengikatnya—ibunya memarahinya habis-habisan, dan ponselnya pun disita selama seminggu sebagai hukuman. Itu masih belum seberapa. Yang terparah adalah neneknya dari Rusia akan datang sore nanti dan tinggal permanen di rumahnya. Albert tidak menyukai neneknya yang suka mengomel dan bahasa Inggris-nya kacau balau. Terakhir kali neneknya mampir ke rumah keluarga Krupin di New York City sini, dia mengomeli Albert sepanjang malam. Dan sekarang neneknya akan tinggal selamanya di New York?

Mampuslah aku,” gumam Albert, melangkah di parkiran SMA St. Abigail yang penuh kendaraan. Yang dia perlukan saat ini adalah sesuatu untuk pelampiasan amarahnya atau semacam wadah curhat. Sebut saja, teman-nya itu, si anak baru pindahan dari Wales. Kevin Huston bukan anak rajin, karena di kelas, dia selalu terlihat mengantuk dan bosan. Tetapi Kevin adalah wadah curhat gratisan yang cukup baik. Dia tidak pernah mengeluh setiap kali Albert berceloteh padanya. Albert memerlukan anak itu sekarang atau dia akan meledak di tempat saking tidak tahannya menahan amarah dan kegelisahan.
Saat itulah dia melihat mobil perak metalik keren yang diparkir agak jauh dari kendaraan-kendaraan lainnya. Ada kalimat diukir di plat belakang mobil itu:
BACK OFF!
Albert tahu siapa pemilik mobil itu, dan mengingatnya membuatnya makin murka.
Dean Clayton.
Dia cowok populer yang dijuluki raja di sekolah ini. Clayton memegang kendali di hampir seluruh sekolah—kecuali guru-gurunya, tentu saja. Dia juga pernah mempermalukan Albert di kelas satu dan menyebutnya ‘pecundang’ di depan sekelompok gadis. Sejak saat itu juga Albert sudah dicap sebagai salah satu cowok paling payah se-SMA St. Abigail.
Tidak ada siapa pun di sekitar tempat parkir itu. Seberkas seringai mengembang di bibir Albert.
Saatnya balas dendam. Sekaligus untuk melampiaskan amarah,” bisiknya. Kemudian, dengan kekuatan penuh, dia menendangi ban mobil perak itu. Anggap saja ban itu adalah bokong besar Clayton. “Makan itu! Dasar kau bocah bedebah!”
Albert kemudian mengeluarkan spidol dari tasnya. Melirik-lirik, dia mendapati parkiran masih sesepi tadi. Sambil menyeringai lebar, dia mencorat-coret kaca windshield mobil itu dengan berbagai tulisan dan gambar jorok. Sambil menahan tawa, tangannya bergerak secepat kilat.
KRUPIN!!”
Albert membeku di tempat. Suara itu… dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Tanpa pikir panjang, Albert Krupin melesat secepat kilat meninggalkan tempat parkir dan sosok yang menjulang beberapa kaki darinya.
KAU AKAN MATI, KRUPIN!!” Dean Clayton meraung keras.
***
Albert berjalan cepat melintasi lorong-lorong sekolah. Tiap kali kakinya menginjak lantai, terdengar suara menceklik dari gesper sepatu bot tebalnya. Jaket kulit yang dia kenakan membuat badannya terasa dua kali lipat lebih berat dan agak gerah. Dua detik sekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Clayton. Sejauh ini dia aman. Sosok Clayton tidak terlihat di belakangnya. Sialan. Kalau sampai Clayton menangkapnya, riwayat seorang Albert Krupin benar-benar akan tamat.
Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya berbenturan dengan tubuh seseorang. Albert mundur sejurus, memasuki mode bertahan dengan menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya.
Aku menyerah! Aku menyerah!!” serunya tanpa memerhatikan siapa yang sudah dia tubruk.
Al!” jerit orang itu. “Kau kenapa, sih?”
Albert mendelik mendengar suara itu. Dia menurunkan kedua tangannya dan mengembus napas keras. “Astaga! Ternyata kau, Kevin! Man, kau hampir bikin aku—Hei, ini kan ruang kepala sekolah! Kau baru buat masalah sampai dipanggil kepala sekolah?” Albert berseru ketika membaca tulisan RUANG KEPALA SEKOLAH di atas pintu besar di belakang Kevin.
Nope. Aku cuma cari informasi,” jawab Kevin, menyeringai. Albert selalu berpikir, temannya satu ini punya seringai yang mengerikan. Saat bertemu dengan Kevin untuk pertama kalinya, Albert mengira baru saja melihat saudara jauh Chuck Norris atau stuntman film action yang biasanya jadi antagonis dan bernasib dihajar sampai mampus oleh si protagonis—kontur wajahnya tidak rata, ada gurat-gurat putih di rahangnya. Rambut cokelatnya juga selalu acak-acakan seperti sarang burung, tidak seperti rambut pirang Albert yang dicukur hingga hampir botak. Dan Albert yakin Kevin tidak pernah mengenal benda yang namanya ‘sisir’.
Informasi? Informasi apa?”
Tidak penting. Lupakan saja,” jawab Kevin, masih menyeringai.
Kevin muncul di kelas bahasa Mrs. Raymond seminggu lalu. Anak yang aneh, agak temperamental, dan sepertinya dia punya obsesi pada warna merah. Karena Kevin tidak pernah mau berhenti menyebut warna merah sejak hari pertamanya di sekolah ini. Meski aneh, dia telah berhasil memperoleh predikat cowok populer, padahal—menurut Albert—cowok itu biasa saja. Malahan dia terlihat seperti begundal kawakan. Sepertinya ini karena sejak hari pertama Kevin di SMA St. Abigail, dia sudah akrab dengan Carla Friday, gadis paling populer yang berpangkat ‘Ratu Lebah’.
Lucunya, Kevin lebih memilih Albert daripada cowok-cowok populer lainnya. Mungkin karena di awal kemunculan Kevin di sekolah, Albert-lah orang pertama yang mengajaknya bicara—selain Carla, tentunya.
Tetapi Albert tidak tahu, apakah Kevin memang benar-benar ingin berteman dengannya atau hanya sedang mencoba membunuhnya perlahan-lahan.
Omong-omong, Al, kenapa tampangmu begitu? Kau kelihatan seperti baru dikejar setan,” sambung Kevin.
Ya, Clayton itu memang sebangsa setan. “Bukan. Ada cewek kelas satu yang mengejar-ngejarku. Dia ingin mengajakku kencan, padahal aku sudah menolaknya berkali-kali,” kilah Albert, memutuskan meninggalkan lorong cepat-cepat.
Aku tidak percaya.” Kevin terkekeh, berjalan menyamai kecepatan Albert.
Sesukamulah!” Albert melempar kedua tangannya ke udara. Perlahan rasa takut yang berputar dalam dadanya menguap lenyap. Namun kemudian, kegelisahan yang dia rasakan sebelum berangkat sekolah kembali lagi—keluarganya. “Tahu tidak? Ibuku marah besar padaku, dan nenekku dari Rusia akan datang!”
Oh, nenekmu yang cerewet itu. Siapkan saja sumpal telinga—Hai! Trims! Kau juga!” Kevin menyahuti ucapan Albert dan membalas sapaan dua orang yang melintasinya secara bersamaan (“Hei, K. H.!”, “Dude, kau kelihatan keren hari ini!”).
Albert meraung, “Ya ampun! Aku benci hidupku! Apa lebih baik aku pindah saja dari New York dan mengganti nama belakangku?”
Tiba-tiba, seperti baru dihantam tongkat bisbol, Albert merasakan perih di bagian belakang kepalanya.
Cuma begitu saja kau mau pindah dari sini?”
Mengelus kepalanya, yang ternyata baru saja dipukul oleh Kevin, Albert mendengus pada temannya, “Memangnya kenapa? Aku benci hidupku saat ini!”
Kau belum merasakan betapa susahnya hidupku sebelum pindah ke sini. Setelah kau merasakannya, baru kau boleh pindah.” Wajah Kevin merah, bibirnya melengkung ke bawah. Matanya yang disipitkan terlihat agak menyeramkan.
Albert menatap Kevin dengan tak percaya. Omongan pemuda itu terdengar terlalu muluk-muluk seperti kalimat dalam film picisan. “Jangan ngawur! Kau tidak terdengar seperti Kevin yang kukenal belakangan ini.”
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki banyak orang dari belakang Albert dan Kevin. Albert menoleh ke sumber suara, dan mata birunya melotot sebesar jeruk.
Sial! Itu Clayton!”
Dean Clayton berjalan di depan empat anak laki-laki bertampang sangar. Wajah Clayton sendiri merah dan mulutnya komat-kamit tanpa henti. Rambutnya yang kuning dan berdiri di tengah kepalanya membuatnya terlihat mirip ayam jantan. Dilihat dari langkah cepat dan tatapan yang terarah padanya, Albert tahu Clayton sedang mencarinya.
Albert memutar haluan. Kakinya sudah siap membawanya kabur sejauh mungkin dari Clayton. “Sorry, Kev. Aku harus pergi sekarang. Nanti kuceritakan lagi sisanya. Oke?” Dan dia kabur secepat kilat.
***
Tetes-tetes air bergema di toilet anak laki-laki. Albert duduk di dalam salah satu bilik toilet anak laki-laki. Hari sialnya terasa semakin parah karena dia harus sekelas dengan Clayton—dengan Kevin juga, sih, sebenarnya—di beberapa jam pelajaran. Dia sudah menghabiskan beberapa jam bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain demi menghindari Clayton. Pertama dia sembunyi di toilet, lalu di perpustakaan, di gym, dan akhirnya di toilet lagi. Tidak sanggup rasanya bertatap mata dengan Clayton. Kalau sampai Albert tertangkap, Clayton pasti akan menghajarnya habis-habisan sampai dia tidak bisa bergerak lagi, lalu akan melemparnya ke Sungai Hudson.
Pintu toilet mendadak digedor dari luar. Albert merinding. Jangan-jangan itu Clayton dan antek-anteknya yang sudah siap menghajarnya. Oh, tidak! Kalau begini, Albert akan benar-benar tamat!
Al! Kau di dalam?”
Itu suara Kevin! Albert bangkit dari posisi duduknya, tangannya meraih kunci pintu. Kemudian dia teringat Kevin dan Clayton berteman. Selain berkat Carla, Kevin bisa jadi sepopuler sekarang juga berkat Clayton. Clayton sudah merekrutnya menjadi anggota gengnya dengan pangkat tinggi—bukan kacung seperti kebanyakan anak baru yang ingin jadi populer. Jelas mereka akan saling bahu-membahu untuk menghancurkan Albert. Meski selama ini Kevin belum pernah sekali pun bertindak di luar batas wajar dan masih bersikap normal pada Albert. Tetapi siapa tahu kalau itu semua cuma akal-akalan Kevin. Bisa jadi di luar bilik sempit berbau tengik ini, Kevin sedang bersama Clayton.
Hei! Siapa di dalam?” Kevin berseru lagi.
Albert merunduk, menempelkan dirinya di lantai toilet yang dingin. Dengan susah payah, dia mengintip ke luar dari celah sejengkal di antara pintu dan lantai toilet. Hanya ada sepasang kaki bersepatu kets putih. Kevin sendirian.
Sedetik kemudian, Albert menghambur keluar dari bilik toilet itu dan megap-megap seperti ikan.
Ya ampun! Kau tidak muncul di kelas, dan ternyata kau sembunyi di sini?” tanya Kevin, mengamatinya dari atas ke bawah dengan tatapan jijik. “Apa-apaan kau?”
Albert bersandar di dinding terdekat. “Clayton… Dia tidak ke sini bersamamu, kan?”
Oh, dia. Dia mencarimu sejak tadi. Entah kenapa,” kata Kevin dengan tenang. “Tapi, tidak. Dia bolos jam pelajaran kelima bersama dua temannya. Kurasa mereka pulang duluan, seperti kemarin.”
Albert mengembus napas lega. Barusan Kevin terdengar seperti seorang penyelamat. Semoga semua ini bukan salah satu dari akal-akalan Kevin untuk menghancurkannya. Kebanyakan cowok populer seperti itu, kan? Tapi setidaknya berharap bukanlah dosa.
Aku sudah keliling sekolah mencarimu. Ponselmu juga tidak bisa dihubungi. Kupikir kau sudah pulang atau bolos,” lanjut Kevin, menyentak sadar Albert.
Seburuk apa pun aku, Kev, aku tidak pernah bolos!” sergah Albert, lalu dia mendesah panjang. “Setidaknya Clayton sudah pergi.”
Kevin mengerutkan keningnya. Matanya yang hijau sendu menunjukkan keingintahuan. “Ada apa denganmu dan Dean?”
Albert melirik-lirik sekitarnya, was-was. “Ka-kau mau tahu?”
Temannya berkacak pinggang. “Ya, tapi tidak di sini. Aku tidak suka dengar cerita di toilet. Lebih baik kau ceritakan saja di kantin sambil makan siang.”
Setelah dipikir-pikir, Kevin ada benarnya juga. Albert sangat lapar setelah bersembunyi berjam-jam. Sebelum menghadapi kenyataan, lebih baik mengisi perut dulu.
***
Dia mengantre dengan sabar di kantin—menunya sosis dan kentang tumbuk dengan sekotak susu—bersama Kevin. Mata Albert tidak bisa berhenti bergulir ke sana-kemari untuk memastikan dirinya memang aman. Kantin itu ramai sekali. Anak-anak menduduki meja-meja, menikmati makan siang mereka sambil berbincang-bincang. Sesekali jepretan kamera ponsel terlihat di beberapa meja. Dari banyaknya orang di kantin itu, Clayton tidak terlihat sama sekali. Mungkin Kevin benar tentang Clayton yang bolos seperti biasanya.
Dude!” Albert berseru setelah mendapatkan jatah makan siangnya. “Aku bahagia!”
Kevin memimpin ke salah satu meja persegi di pojok kantin. “Sedetik lalu kau ketakutan seperti sedang dikejar setan, dan sekarang kau bahagia?”
Memangnya kenapa? Aku tidak boleh bahagia?” Albert duduk di seberang temannya di meja persegi itu. Posisi meja yang cukup jauh dari meja-meja lainnya membuatnya merasa seperti orang yang terasingkan di sekolah ini.
Tidak ada yang melarangmu bahagia, Al,” kata Kevin. “Kau cuma tidak mau alasanmu berbahagia diketahui orang lain, jadi mereka tidak akan mencuri kebahagiaanmu. Tapi aku tidak akan mencurinya. Karena aku sendiri sudah bahagia di kota baruku ini, di New York.”
Kau bicara seolah kau pernah melakukan tindak kriminal di kampung halamanmu!” Albert tertawa terbahak-bahak. Ya ampun. Mengapa rasanya lega sekali setelah berada di kantin yang bebas dari keberadaan Clayton? Saking leganya, Albert merasa sebentar lagi akan melayang-layang di udara.
Pernah, kok.”
Angan-angan Albert kandas seketika. Dia menatap temannya dengan tatapan tak percaya. “Apa katamu?”
Kevin tidak menjawabnya. Tatapannya penuh nostalgia yang kesannya agak seram bagi Albert pribadi. Selama ini Kevin memang belum pernah menceritakan seperti apa hidupnya di Newport selain bahwa dia membenci kampung halamannya dan segala tentangnya. Tiap kali Albert menanyakan alasannya, Kevin tidak pernah mau memberitahunya.
Tiba-tiba Albert merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Kerasnya suara nampan alumunium mendarat di meja plastik ditambah remah-remah kentang tumbuk yang mencolot ke mana-mana mengagetkannya.
Hei, boleh numpang di sini? Meja lainnya penuh.”
Albert terperanjat dan nyaris terkencing di tempat. Clayton tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Badannya bau tengik, seperti campuran keringat dan cologne yang memuakkan. Saat itu juga, Albert merasakan rambut halus di lengan dan tengkuknya meremang. Kevin menipuku!
Boleh saja,” jawab Kevin sambil mengangkat bahu. “Kukira kau bolos.”
Bolos? Aku?” Clayton terdengar tersinggung. Albert tidak berani berkutik di kursinya dan tidak berani menatap musuh bebuyutannya itu. “Kaupikir aku seburuk itu, eh?”
Cuma dugaanku,” sahut Kevin cepat.
Clayton tertawa, lalu menepuk punggung Albert keras-keras sampai dia batuk-batuk. “Krupin, ke mana saja kau tadi, huh? Aku sudah mencarimu ke mana-mana!”
Albert masih tidak berani menatap Clayton. Dia juga tidak berani bersuara. Tubuhnya malah gemetaran dan rasanya dia ingin menangis sambil berteriak-teriak.
Jangan ganggu dia. Kondisinya sedang buruk.”
Clayton dan Albert segera berpaling pada Kevin Huston.
Kevin makan dengan tenang, dan berkata, “Ada cewek kelas satu yang mengejarnya terus-menerus. Kasihan Al. Dia harus mati-matian kabur agar tidak tertangkap. Cewek itu mengerikan, soalnya.”
DamnMan! Kau memang sial sekali!” Clayton tertawa keras sekali sampai telinga Albert pekak. Lalu dia menjerat leher Albert dengan lengan besarnya. “Kasihan sekali kau, Bung! Kasihan sekali!”
Albert sesak napas. Kurang ajar! Aku bisa mati!
Clayton membebaskannya beberapa saat kemudian—Albert batuk-batuk sambil mengelusi lehernya. “Hei, Huston, bagaimana kalau nanti malam kita adakan pesta kecil-kecilan di rumahku? Kita bisa ajak bocah ini juga.” Clayton menepuk-nepuk kepala Albert. “Nanti aku akan mengajak teman-temanku yang lain juga. Kita makan barbekyu, nonton film bareng, lalu jalan-jalan sampai tengah malam! Kalau kita beruntung, kita bisa lihat balapan di pusat Manhattan! Dan Krupin bakal jadi tamu istimewa kita!”
Albert tahu apa yang sedang Clayton pikirkan. Cowok itu tidak mungkin mengundangnya baik-baik. Dia pasti akan menghabisi Albert di rumahnya setelah memperbudaknya sampai kehabisan tenaga. Tentu Albert akan menolak. Mana mungkin dia jatuh ke jebakan Clayton semudah ini. Namun suaranya enggan keluar. Celaka!
Bagaimana menurutmu, Huston?” tanya Clayton kepada Kevin. “Kau yang tentukan, soalnya kau yang menemukan bocah ini duluan.”
Yang bisa Albert lakukan sekarang adalah memaki tanpa jeda di dalam kepalanya dan berharap Kevin menolak ajakan Clayton. Kalau sampai Kevin setuju, matilah Albert.
Maaf.”
Satu kata itu sukses membuat Albert membuang seluruh pikiran buruknya. Dia menatap Kevin dengan takjub, mulutnya ternganga.
Kami tidak akan datang, Dean. Aku tidak suka pesta, apalagi yang sampai tengah malam,” kata Kevin. Makan siangnya sudah habis separuh. “Kau tidak tahu apa yang ada di balik… kegelapan malam. Kalau kau mau pesta sampai tengah malam, ajak yang lain saja.”
Oh, ayolah, Huston! Kita akan beri sedikit pelajaran juga pada Krupin!”
Jawabanku tetap tidak.”
Clayton memberengut dan komat-kamit. Dengan cepat, dia bangkit sampai kursinya terbanting ke lantai. “Awas kau,” bisiknya pada Albert, kemudian pemuda itu menyambar nampannya, dan melangkah pergi.
Setelah Clayton cukup jauh dari meja Albert, Albert akhirnya bisa bernapas lega. Kebahagiaan yang tadi sempat dia rasakan kembali memenuhi relung dadanya. Tubuhnya terasa ringan dan dia siap melayang ke udara lagi saking bahagianya.
Man, kau menyelamatkanku!” teriaknya pada Kevin sambil melempar kedua tangannya ke udara. “Aku tahu Clayton pasti berencana menghancurkanku sampai ke tulang-tulang! Kau benar-benar telah menyelamatkanku! Gila! Aku bisa merasakan diriku yang lama, diriku yang ceria dan percaya diri, telah kembali! Sialan si Clayton itu! Suatu hari nanti akan kubalas dia! Akan kubalas dia dengan lebih kejam lagi!”
Kau mau apa? Melempari jendela rumahnya dengan telur busuk?” Kevin terkekeh. “Memangnya ada apa denganmu dan Dean? Kalian pasti terlibat masalah besar, ya?”
Albert ikut tertawa pelan. Dia memperbaiki posisinya di kursi, dan mulai menyantap makan siangnya yang sudah dingin. “Soal aku dan Clayton, sebenarnya tadi pagi aku mencorat-coret mobil bocah bedebah itu dengan spidol. Aku ketahuan, lalu aku kabur. Begitulah kronologisnya.”
Mata Kevin melebar. “Ah, pantas saja kau kabur waktu Dean datang tadi pagi.”
Setelah meneguk susu untuk membasahi tenggorokannya, Albert berkata, “Untung saja kau bersamaku, Kev! Kalau kau tidak ada, aku pasti sudah tewas!”
Kevin mendengus. “Aku, kan, tidak melakukan apa-apa.”
Kevin Huston memang aneh. Albert tidak henti-hentinya bersyukur telah mengenal cowok satu ini, cowok pindahan beraksen Welsh yang awalnya terdengar seperti kodok dari sejenis hutan hujan. Tidak hanya mau berteman dengannya, Kevin juga sudah menyelamatkan nyawanya! Sepertinya, seluruh dugaan buruk Albert tentang Kevin tidak benar. Buktinya, Kevin menyelamatkan nyawanya!
Bung, kau memang aneh!” Tanpa sadar Albert mendesah lega. “Kapan-kapan kau harus mampir ke rumahku. Nenekku pasti akan menyukaimu!”
Ide bagus,” balas Kevin sambil tersenyum lebar.
Omong-omong, aku heran kenapa kau mau berteman denganku. Kau tahu, kan, aku ini bukan cowok populer atau apa. Banyak yang menganggapku payah, padahal aku tidak payah. Kau tidak takut kepopuleranmu luntur karena berteman denganku?”
Tatapan mata Kevin mendadak terlihat mengerikan. Seolah dia ingin menerkam Albert saat itu juga, lalu mencabik-cabik wajahnya sampai dia tidak dikenali lagi. Albert buru-buru menampar mulutnya sendiri. Mengapa pula dia menanyakan hal itu tadi? Celaka! Mulutnya memang sering hilang kendali.
Aku tidak percaya dengan mitos cowok populer dan tetek bengek semacam itu,” jawab Kevin. Tatapannya masih mengerikan. “Aku cuma ingin menjalani hidup baruku dengan bahagia. Dan menurutku, berteman dengan orang payah tidak akan membuatmu kelihatan payah juga. Semua itu cuma mitos! Tidak ada yang namanya berteman malah membuat petaka. Persahabatan yang sesungguhnya akan membuka peluang untuk sukses, bukan malah mencelakakan.”
Albert tertawa saja mendengar jawaban Kevin. “Aku tidak mengerti, tapi kurasa ucapanmu ada benarnya juga.”
Baguslah kalau kau sadar.” Kevin berdiri dari kursinya, membawa nampan kosongnya dengan dua tangan. “Sabtu ini aku akan ke Battery Park bersama Carla. Kau mau ikut? Akan kukenalkan kau pada Scarlett.”
Mendengar nama itu, Albert terlonjak di tempat. “Scarlett? Gadis penari yang kau bicarakan di kelas Mrs. Raymond waktu itu?” Dia bersiul singkat. “Tentu saja aku ikut, Man! Aku juga mau ketemu dengannya dan kenalan dengannya!”
Kevin tertawa. “Tentu saja. Temanku adalah teman Scarlett juga.”
Albert tidak kuasa menahan tawa lepasnya. Dia merasakan dirinya kembali melayang di udara. Ini kebahagiaan, dan kebahagiaan itu baru dia peroleh dari temannya yang aneh. Meskipun keadaan rumahnya kacau, meski Clayton masih mendendam padanya dan akan menghabisinya suatu hari nanti, dia tahu masih ada Kevin Huston yang bisa diandalkan dan bisa dia sebut sebagai teman. Seorang teman yang sesungguhnya.














Tuesday, August 25, 2015

BEHIND THE SCENE! YARN 14: BRINK OF SENSES


“Mengapa kau menari di sini?” tanya Kevin lantang. “Bukankah kau bisa menari di panggung dan dapat uang lebih banyak?”
“Aku tidak butuh uang. Aku hanya suka menari. Menari, menari, dan menunggu.”

Keputusan sang ayah untuk pindah ke New York membawa angin segar dalam kehidupan Kevin Huston. Di kota yang sibuk itu, dia bisa melupakan kenangan buruk akan ibunya dan bisa memulai hidup baru tanpa ada yang tahu riwayatnya sebagai mantan pasien di Pusat Rehabilitasi Mental Golden Sunshine (“Senyum, senyum, senyum karena kau ada di Golden Sunshine!”). Kevin berhasil menarik perhatian Carla Friday, gadis paling populer di sekolah dan dia bisa berteman dengan siapa pun yang dia mau. Siapa pun kecuali Scarlett Mendelsohn, gadis penari yang ia temui di Battery Park. Berulang kali Kevin mencoba mendekati Scarlett, tapi gadis itu tidak menggubrisnya, seolah pikirannya berada di tempat lain. Tapi Kevin tidak mau menyerah. Karena ada sesuatu dari gadis itu yang mengingatkannya pada kondisinya dahulu.




Author's Note:
As you already knew, tahun lalu Ice Cube Publisher mengadakan lomba bertajuk YARN yang mengangkat tema Realistic Ficton. 
Ketika saya sedang menjalankan tugas negara yang disebut KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Bangbang, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, saya membuka-buka novel-novel yang pernah saya tulis di laptop saya. Saya temukan suatu naskah yang belum kelar di sana, yang teronggok sendirian, kesepian. Lalu saya baca lagi. Hmm… setelah dipikir-pikir, naskah itu ternyata memuat unsur yang cocok dengan  lomba YARN. AHA! Saya pun segera melanjutkan naskah tersebut, menambahkan ini-ina-inu, meski progress-nya selambat bekicot obesitas yang keberatan cangkang.
Beberapa tahun kemudian…
Ueedaaan! Gak kaleee!
September pun tiba… Saya tengok kalender, tanggal 3 (atau 5, saya lupa) September 2014. Batas pengiriman naskah YARN adalah 8 September 2014. Pergilah saya ke tempat ngeprint somewhere di dekat kampus saya untuk ngeprint naskah. Saya masukan naskah itu ke amplop cokelat besar yang kancingnya lepas, jadi talinya gak bisa dikaitkan (dan saya gak tau kenapa saya gak beli amplop baru aja—mungkin alasannya karena otak saya lagi eror 404), lalu saya staples berkali-kali di ujungnya supaya isinya gak berceceran saat dikirim nanti. Dan beberapa saat kemudian, naskah terkirim.

Pengumuman naskah pemenang dan naskah pilihan editor pun tiba pada Desember 2014. Berapa kali pun saya membaca dan memindai nama-nama di poster pengumuman pemenang itu, sebanyak itu pula saya gak bisa menemukan nama saya. Kemudian semua lagu galau yang saya punya di HP dan laptop mengalun.

Hiks hiks hiks huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!
Oke, itu tadi gak berlebihan, kok. Itu kenyataan.

Pada suatu hari di akhir bulan Maret 2015, saya sedang duduk merenung di meja belajar saya. Ketika saya hendak mengakses HP untuk main Candy Crush Soda (saya gak bisa berhenti main nih game padahal kalah mulu kerjaannya), HP saya berdering tanda ada e-mail masuk. Cek dan baca tiga kali berulang-ulang, saya kejang-kejang. Boong dink. Disebutkan dalam e-mail tersebut, saya diberikan kesempatan kedua untuk membenahi mental saya—eh, bukan! Maksudnya membenahi naskah YARN saya yang waktu itu gagal. Seperti baru saja menang lotre 49 juta rupiah yang biasanya dikirimkan ke saya dalam bentuk SMS penipuan (tapi saya gak pernah ketipu kok, santai aja), saya lompat-lompat kegirangan kayak wong edan.

Setelah berkutat dengan berbagai halangan dan rintangan, salah satunya yang paling mengerikan dan tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya—charger laptop saya meledup kesamber petir saat lagi self-editing naskah, akhirnya naskah kelar. Sebenernya deadline-nya masih lama, tapi karena saya ngebet, saya kirim langsung wes. Hehee…
Kemudian, pikiran saya beralih pada skripsi yang menggenaskan... Mei 2015, saya baru pulang dari diskusi umum bersama teman saya. Waktu itu diskusi dimulai dari jam 10 pagi WITA sampe jam 3 sore WITA. Pulangnya, saya dapet mention di Twitter. Cek HP, saya mendelik. 
Karena waktu itu sinyal jeleq banget sampe pengen ngamuk-ngamuk dan mencak-mencak, saya gak bisa liat poster pengumuman 2 naskah YARN pilihan editor yang di-extend. GGGRRRRRRR!! Saya kabur ke luar rumah, ceritane mau nyari sinyal. Setengah jam kemudian, posternya masih nggak keluar.
Kampred dah ini operator.
Beberapa saat setelah itu, barulah saya mampu melihat posternya. Betapa terkejutnya saya saat melihat nama pena saya yang ganteng itu bersandingan dengan judul naskah saya yang cantik  itu di poster naskah pilihan editor yang di-extend. Dan lagi setelah mendapat e-mail resmi pemberitahuan dari Ice Cube Publisher, seketika saya merasa dunia ini jauh lebih indah dari sebelumnya meski sinyal internet masih sejelek biasanya.


Jadi, secara kronologis, ini adalah perjuangan yang sangaaaaat panjang dan sangat... umm... penuh perjuangan (huh??)!
Novel ini bukan novel pertama yang saya tulis kok. Ini novel keempat atau kelima atau keenam yang saya tulis. Ada beberapa novel yang pernah saya ikutin lomba dan kirim ke penerbit. Kesemuanya lolos tahap pertama, tapi di tahap akhir, gagal total. Sakitnya tuh... di mana-mana!

Brink of Senses adalah novel pertama saya yang lolos hingga akhir! YAAAYY!


NAH, SEGITU SAJA DEH BEHIND THE SCENE-NYA. BIAR GAK SPOILER YAAAAA




Salam
Metha (a.k.a Mertha Sanjaya)

Wednesday, March 4, 2015

Skor TOEFL ITP saya....

Tanggal 13 Februari 2015 lalu, saya mengikuti tes TOEFL ITP di kampus. Kami, para mahasiswa, harus dapat skor 500+ sebagai persyaratan sidang skripsi.
Banyak temen yang bilang kalau tes ini butuh perjuangan yang soooo extreme. You have to get enough rest, study much, master many things, and blah blah blah....

I don't have time for that! I'm a very busy woman, y'know.

So, I only got to practice whatever it is in the handbook given by my university. There are some assignments, and I did them all. Whew....

The day finally comes....
Saya mengerjakan sebagaimana saya biasanya mengerjakan ujian. Yah, dibilang cepat sih cepat, dibilang lambat, yo nggak gitu lambat kok. Wkwkwk

Saya adalah peserta kedua yang selesai mengerjakan soal. Bisa jadi yang pertama sih andai saya nggak bengong menatap jam dinding. Wkwkwk


Dua minggu kemudian, saya dapat kabar kalau hasil TOEFL ITP sudah bisa diambil. Bersama seorang teman, saya mendatangi kampus dan menerima sertifikat putih berisi nama saya. Dan WOW! Skor saya 593!

Wah saya seneng setengah modar!
Ternyata jerih senang saya belajar bahasa Inggris dari masih anak bawang sampai tante-tante (kemaren saya dipanggil tante pas jalan-jalan di supermarket. edan lah) membuahkan hasil yang enak!

Gramedia Writing Project Batch 2

Nah, jadi, seperti yang kalian tahu, beberapa bulan lalu diadakan Gramedia Writing Project Batch 2.
Saya, dengan modal seadanya, ikutan lho!
Hore!
Dengan username Metha, foto profil seadanya, dan biodata kosong, saya mulai upload seluruh karya saya yang lagi nganggur di folder. Semua saya labeli GWP2, berharap bakal ada banyak orang yang baca, komentar, dan vote.
Bleeergghh....

I'LL JUST COPAS MY WRITING FROM MY DEVIANTART.
TOO LAZY TO WRITE A NEW ENTRY 'CAUSE MY FINGER HURTS LIKE HELL....

On January 20, there was an announcement on the 30 best writers on a very well known online writing community. The event is called Gramedia Writing Project Batch 2, starting from November 2014 to December 2014. There will be 10 writers picked from the best 30 writers to be invited to Jakarta and have their manuscripts published by the most famous Indonesian publishing house, Gramedia. I joined the event out of curiosity. Under the username Metha, I posted my works (short stories and novels) on the community by December 2014. There was only a few votes and comments on my works, and I thought my works must be thrash.... You can imagine how sad I was, right? :icononionwoeplz:

And then things happen in January 2015.... I didn't check anything until January 31. That was when I read the announcement. The judges were facing difficulties to pick the 10 best writers from the 30 best writers. It was easy to find my name in the announcement since it is the shortest name.
I couldn't believe it! I was one of the 30 best writers! :iconhappytearsplz:

Then I raid the whole internet to get more information about the event and how the judges picked the winners. They said, vote and comment don't effect the judgement. It is the writer's writing skill that matters.
Though I'm not picked as the best 10 writers, I'm still so happy! All the works I did for years finally paid off.
What makes me even happier is that the judges will keep an eye on the 30 writers (including me, yeah) to monitor their improvements. We will also have much bigger chance to publish our works under Gramedia.

Now, my friends, please pray for me so I can finish my novels and publish them in Gramedia and other publishers. This is what I have been dreaming for years besides making my family happy. Writing is my field, I decided. And I will make my family proud of me and my achievement. :iconhappyblueplz:

For those who are curious of my works (all are in Indonesian), go here gwp.co.id/author/metha/
For the announcement, go here gwp.co.id/pengumuman-seleksi-g…

Did you know? I have some anthologies, too! Three are horror anthologies (Lucy Lucifer, Ground Zero, and Cannaregio), and one is an anthology of true stories (Curhatku Untuk Semesta). All are published by a huge and very well known publishing company, de Teens. Please buy and read them! :iconlaplz:

Wednesday, December 24, 2014

A Year Ago

A/N: HAPPY CHRISTMAS, EVERYONE!
Ini fic onsehot yang kubuat untuk merayakan Natal! Well, semoga menghibur yaa :D
Enjoy!
Disclaimer: I own nothing….

A Year Ago

Ventus benci Natal.
Dia duduk di bangku bandara, memangku laptopnya yang menampilkan sederet presentasi dan artikel. Dia tidak pernah menyangka kuliah ternyata seberat ini. Setiap hari selalu berkutat dengan buku dan laptop, bersarang di perpustakaan kampus seperti laba-laba, dan berkeliaran ke sana-ke mari mengejar dosen-dosen untuk perbaikan nilai. Bahkan di hari Natal sekalipun, dia tidak bisa istirahat.
Ventus benci Natal.
Memangnya apa yang bisa dia dapatkan di hari Natal? Hadiah? Dari siapa?
Dia membuka kotak masuk e-mailnya. Ada beberapa e-mail baru dari teman-temannya.

Subjek: Apa kabar?
Hai, Ven! Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Bagaimana kuliahmu? Apa masih sesibuk dulu? Well, setidaknya kau bisa liburan di Hari Natal. Polisi tidak libur di Hari Natal. Tapi aku akan pulang kampung setelah Tahun Baru. Kuharap kita bisa bertemu lagi, Ven.
Oh, ya, Selamat Natal! J

Subjek: DI MANA KAU?
DI MANA KAU? ISA JUGA HILANG! KENAPA AKU DITINGGAL SENDIRI DI ASRAMA???

Subjek: Selamat Natal.
Selamat Natal.
Dari Isa dan keluarga.
Sori, aku pulang duluan. Ada urusan mendadak. Trims, Ven.
P.S Kalau kau mau pulang kampung, pulang saja. Jangan pedulikan Lea.

Subjek: Ke mana kau?
Kau masih hidup?
Kusarankan kau pulang ke rumah tahun ini. Aku dengar dari sepupumu, adikmu yang paling kecil mencoba mengutil di supermarket. Untung saja dia yang memergokinya, kalau tidak, adikmu bakal dibawa ke kantor polisi! Kau harus pulang dan nasihati adik-adikmu! Orangtuamu juga mencemaskanmu.

Ventus menghela napas. Teman-temannya dan mulut besar mereka. Lea dan Isa adalah dua teman sekamarnya. Lea sangat ribut, sementara Isa sangat kalem. Dua pribadi yang bertubrukan itu selalu menyebabkan malapetaka di kamar asrama mereka. Kadang Ventus lebih suka mengabaikan mereka daripada terlibat malapetaka.
Aqua dan Terra dulu kakak kelasnya di SMA, tetangganya juga. Sifat mereka terlalu dewasa untuk usia mereka. Setelah lulus SMA, Aqua mendaftar ke akademi polisi, sedangkan Terra melanjutkan ke universitas di luar negeri.
Sempat Ventus berpikir, dia tidak mungkin bisa mengikuti jejak dua temannya. Dan tiba-tiba keajaiban terjadi. Dia cuma menendang bola sepak itu saja. Cuma sekali, dan bola itu menerobos pertahanan pemain tim musuh sampai ke gawang mereka tepat sebelum peluit tanda pertandingan usai ditiup. Gol ciptaan Ventus memperoleh sorak-sorai paling meriah sekota. Radiant High memenangkan pertandingan sepak bola antar kota dan menjadi idaman para pecinta olahraga. Semua berkat Ventus, si pendek dan kerempeng, pemain cadangan, kacung para pemain inti—dan dia turun ke lapangan karena salah satu pemain cedera—yang mencetak Gol Emas—begitu mereka menyebutnya. Hadiah yang mereka berikan membuat Ventus diterima di Universitas Twilight delapan ratus kilometer dari rumahnya.
“Seharusnya aku tidak pernah mencetak gol itu,” gumamnya, asap putih mengepul dari mulutnya. Perhatiannya teralih kembali pada layar laptop, pada e-mail paling atas.

Subjek: Bego
Oke, akhirnya aku tahu alamat e-mail-mu. Untung saja aku pintar.
Kau ini kenapa, Ven? Orangtuamu sudah mencoba menghubungimu sejak lama, tapi kau bahkan tidak pernah membalas pesan singkat mereka atau mengangkat telepon. Apakah otakmu ketinggalan di lapangan sepak bola itu?
Aku tahu aku kasar, tapi INILAH AKU! Aku cuma mau bilang, kau payah. Kau payah sekali sampai aku malu jadi sepupumu! Untung saja aku tidak punya hubungan darah secara langsung denganmu, tidak seperti adik-adikmu itu. Mereka jadi aneh. Kayak zombi yang tidak pernah makan otak manusia. Terutama Roxas. Aku kasihan pada Bibi Aeris. Paman Cloud tidak pernah mau berhenti menangis.
Sudahlah. Sampai jumpa…. Yah, semoga kita tidak ketemu lagi.

“Menangis?” Ventus mengernyitkan dahi. “Roxas jadi aneh?”
Dulu keluarga Ventus selalu merayakan Natal bersama—setidaknya sampai akhirnya Ventus kuliah. Tahun lalu dia tidak pulang ke rumah untuk merayakan Natal. Dia terlalu sibuk, lebih sibuk dari seekor lebah pekerja. Bahkan makan pun dia lupa, dan dia tidak pernah bisa tidur lebih dari tiga jam sehari. Ibunya menelepon saat Ventus sedang di puncak amarahnya setelah artikel yang sudah susah payah dia tulis terhapus dari memori laptopnya, menyuarakan betapa kecewanya dia pada putra sulungnya.
“Kalau Mammy lebih mementingkan jamuan makan malam murahan dan kotak hadiah yang dibungkus seadanya dengan isi seadanya daripada masa depanku, aku tidak akan pernah pulang ke rumah lagi!”
 “Ven, Sayang, Mammy dan Pappy merindukanmu. Adik-adikmu juga.” Itu ucapan ibunya yang terakhir sebelum Ventus menutup telepon dan membanting ponsel ke lantai asramanya.
Ventus ingat telepon berdering-dering tanpa henti sesaat setelah itu. Dia tidak mengangkatnya. Dia bahkan tidak sudi membaca nama yang ada di layar ponsel. Kemudian dia ingat membenamkan ponselnya ke dalam gelas susu Lea untuk membungkam bunyinya—dan Lea mengamuk hingga tengah malam.
Kini Ventus menyesal telah mengatakan semua itu pada ibunya. Selama setahun, dia merenung dan memaki dirinya sendiri. Bodoh sekali dia. Bodoh sekali!
Sudah setahun berlalu tanpa komunikasi antara dirinya dan keluarganya. Ventus memutuskan untuk pulang dan merayakan Natal bersama keluarganya, meski tumpukan asesmen masih mengintainya—apalagi setelah dia membaca e-mail dari sepupunya. Di dalam tas ranselnya yang besar, dia telah menyiapkan kado-kado untuk orangtuanya dan dua adik kecilnya. Mungkin sudah banyak hal berubah setahun belakangan ini. Mungkin, kepulangannya tahun ini akan menebus kesalahannya tahun lalu.
***
Salju berguguran menyelubungi rumah itu. Putih dan tebal. Asap meliuk-liuk keluar dari cerobong asap di sisi timur genting, lampu kelap-kelip bergelantungan di atas pintu depan. Cahaya lampu menerobos jendela rumah, memancarkan sinar keemasan ke tanah berselimut salju. Ventus bisa mendengar suara tawa dari dalam rumah itu, ditambah dengan aroma masakan. Dia membuka gerbang depan. Jerujinya dingin dan basah.
Melintasi jalan setapak yang tertutup salju, Ventus mengerling sekeliling. Semak-semak bunga kesayangan ibunya hanya tersisa ranting-rantingnya, pepohonan juga. Sepeda anak-anak ditinggalkan di bawah salah satu pohon kering, tertimbun salju. Tanpa sadar dia tersenyum saat ingatannya berlari ke masa lalu ketika dia mengajari adik-adiknya naik sepeda.
“Ventus?”
Ventus tersentak di tempat. Buru-buru dia berbalik. “Siapa?”
Seorang anak kecil berdiri di sana. Dia mengenakan jaket hitam, celana panjang sewarna, dan topi rajut dari wul. Tangannya terselubung sarung tangan wul juga. Dia tampak sangat kedinginan, menggigil dan meniup-niup tangannya.
“Roxas?” Ventus membungkuk menyamai tinggi adiknya. Dia tidak bisa menyembunyikan betapa bahagianya dia melihat adik kecilnya lagi.  Adiknya tampak sedikit lebih tinggi sejak terakhir kali mereka bersama. Dan Roxas tidak kelihatan aneh seperti apa yang Vanitas, sepupunya, tulis dalam e-mail-nya. Salju masih berjatuhan dari langit malam ini, tampak seperti ketombe raksasa di atas topi rajut Roxas. Ventus menyapu salju dari topi rajut dan rambut pirang adiknya. “Hei, kau sudah besar. Tetapi apa yang kaulakukan di luar? Seharusnya kau di dalam, bukan?”
“Kenapa kau di sini? Bukankah seharusnya kau masih kuliah?” anak itu balas bertanya. Matanya yang biru dan besar diarahkan pada mata biru Ventus.
“Aku pulang, Roxas. Untukmu, Sora, Pappy, dan Mammy.” Ventus tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. “Ayo ke dalam.”
Roxas menggenggam tangan kakaknya. “Kita akan makan daging panggang spesial Natal.”
“Ya, daging panggang buatan Mammy.”
“Bukan. Buatan Pappy!”
Ventus meliriknya penuh tanda tanya. “Kenapa bukan Mammy yang memasak?”
Roxas melepas pegangannya dari tangan Ventus, dan melesat ke pintu depan. Tanpa mengetuk, dia mendorong pintu terbuka. Cahaya keemasan membanjiri jalanan bersalju. Anak itu masuk tergesa-gesa, seperti dikejar setan. Ventus mengernyit lagi. Inikah yang Vanitas maksud dengan… aneh?
Mengabaikannya, Ventus melesat ke dalam rumah.
Meletakkan koper di sisi pintu, dia merasakan kehangatan familier rumah itu. Lampu-lampu hias dinyalakan, hiasan-hiasan khas Natal digantung di dinding. Ada pigura-pigura disusun di atas meja kecil. Ventus mengerlingnya. Ada fotonya, adik-adiknya, dan orangtua mereka dalam pigura-pigura. Ventus tidak tahan untuk tidak tersenyum.
“Selamat Natal, Roxas! Dan kau kelihatan seperti tikus kecebur got.”
“Roxas, dari mana saja kau sampai selarut ini?! Bukankah sudah kubilang jangan keluar rumah saat turun salju dan jangan pulang di atas jam 5 sore? Aku hampir menelepon polisi!”
“Ventus di sini.”
Mendengar suara-suara itu, Ventus bergegas menghampirinya. Dia tidak memberitahu keluarganya bahwa dia akan pulang kampung. Ini kejutan. Dan dia sangat berharap kejutan ini akan memperbaiki hubungannya dan keluarganya.
“Oke, kau mulai bicara yang aneh-aneh lagi. Kau dihukum di kamarmu sampai pagi tiba.”
“Tapi dia tidak akan dapat hadiah dari Santa, Pappy! Kasihan Roxas!”
“Sora, apa kau mau dihukum juga?”
Ventus merapat ke dinding yang membatasi ruang keluarga dengan ruang tamu. Perlahan dan tanpa suara, dia melangkah masuk. Di ruang keluarga itu, ruangan kecil dengan perapian bata yang apinya berkobar-kobar, keluarga kecilnya sedang berkumpul. Ada pohon Natal besar di sudut ruangan, penuh lampu dan hiasan berkilau. Kado-kado berserakan di bawah pohon dengan taburan kertas kerlap-kerlip yang dipotong kecil-kecil. Suasananya hangat, lagu-lagu diputar di radio kecil di atas perapian.
“Kejutan! Selamat Natal, semuanya,” sapa Ventus dengan ceria. Namun mendadak dia merasa canggung pada keluarganya sendiri.
“Ventus!” Sora, adik lelakinya yang rambutnya cokelat liar seperti sarang gagak, menghambur ke arahnya. Anak itu memeluknya erat-erat, sesenggukan. “Akhirnya kau pulang juga!” Dia menoleh pada Pappy. “Pappy, Ventus sudah pulang!”
Pappy berdiri dari sofanya. Dia sangat kurus, sehingga sweternya menggelambir di badannya. Rambutnya gondrong, pirang seperti mentega. Raut wajah Pappy tidak sama seperti dulu. Dia terlihat lebih tua dari seharusnya saat menoleh Ventus.
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya keras.
Ventus tersentak. “Pappy, aku pulang untuk merayakan Natal bersama-sama.”
Pappy mendecak, persis orang tua galak dalam film-film. “Bersama? Bagaimana bisa kita dinamakan ‘bersama-sama’ kalau ibumu tidak di sini?”
Kali ini Ventus merasakan jantungnya berdegup terlalu kencang. “Mammy kenapa? Di mana Mammy? Dia tidak ikut merayakan Natal di rumah?”
Sora melepas pelukannya. “Ventus, Mammy….”
Ventus menatapnya nanar. “Kenapa? Mammy mana?”
“Mammy kedinginan,” Roxas menyahut. Anak itu duduk memandang api dalam perapian. “Tadi aku bawakan mantel dan topi untuknya.”
“Ada apa dengannya?” Ventus berteriak. Amarah dan rasa ingin tahu meledak-ledak dalam dadanya. “Ada apa dengan Mammy? Seseorang, beritahu aku!”
“Ventus,” panggil Pappy, “duduklah.”
Meski sungkan, Ventus duduk di samping ayahnya. Dalam jarak sedekat ini, dia bisa mencium bau rokok dari tubuh ayahnya. Rokok dan… alkohol? Sejak kapan ayahnya jadi perokok dan peminum? Mungkin… setahun telah mengubah banyak hal.
“Sora, Roxas, pergilah ke kamar kalian. Kalian tidur duluan,” perintah Pappy.
“Lihat? Inilah alasan mengapa aku tidak suka jadi anak kecil,” Sora menggerutu sambil menghampiri si bontot di depan perapian. “Ayo, Roxas!”
Roxas berdiri dan mengikuti Sora keluar dari ruang keluarga.
Pappy ikut keluar setelah dua anak kecil itu pergi. Ventus menggigil tiba-tiba. Apa yang terjadi? Mengapa sesuatu terasa sedang menjepit jantungnya hingga perih? Apa setahun tanpa kabar bisa membuat segalanya berubah sedrastis ini?
Beberapa menit kemudian Pappy kembali lagi dengan sebotol bir dan dua gelas tinggi. Dia meletakkan gelas-gelas di meja kopi, lalu menuangkan bir.
“Minumlah. Jangan malu-malu,” katanya.
“Aku tidak minum, Pappy. Kau sendiri yang mengajariku agar tidak jadi pemabuk, bukan?”
“Kupikir kau sudah melupakanku.” Pappy meneguk minumannya sendiri. “Setahun tanpa kabar. Ngerti, kan?”
“Aku… minta maaf.”
“Aku sudah memaafkanmu sejak aku melihatmu di rumah ini lagi, Ventus,” kata Pappy datar. “Aku yakin ibumu juga.”
Ventus teringat pada ibunya lagi. “Di mana Mammy? Aku… aku ingin minta maaf padanya juga.”
Pappy menuang ke gelasnya. “Ibumu sudah tidak ada.”
Seperti baru disambar petir, Ventus terpaku di tempat. Seluruh suara lenyap, menyisakan gemuruh debaran jantungnya sendiri. Tubuhnya yang tadi dingin sekarang mendadak panas, kulitnya mengejang hingga rasanya akan segera robek. Ucapan ayahnya…. Itu tidak benar, bukan?
“Dia meninggal setahun lalu, Ventus,” Pappy melanjutkan sambil menyeruput isi gelasnya. “Sakit parah. Dokter menyerah. Dan dia menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit. Roxas ada di sana waktu itu. Aku sudah melarangnya, tapi anak itu nekat. Kematian Aeris di depan matanya membuatnya agak… aneh.”
Ventus tidak bisa berkata-kata.
“Ibumu mencintaimu. Dia selalu memanggil namamu dalam tidurnya, bahkan dalam napas terakhirnya.” Pappy menarik napas panjang. “Dia selalu mencintaimu, Nak. Selalu.”
Ventus menelan ludah, lalu, “Me-mengapa tidak ada yang mengabariku? Mengabariku bahwa Mammy sakit, bahwa Mammy membutuhkanku di sisinya saat Tuhan menjemputnya? Mengapa aku tidak tahu apa-apa? Aku belum mati! Demi Tuhan, aku belum mati seperti apa yang kalian pikirkan!”
Pappy hanya mengerjap-ngerjap mirip orang bodoh. “Aku depresi setelah Aeris pergi. Bos menendangku keluar dari kantor, dan aku harus memohon ke sana-sini agar dapat pekerjaan baru. Sora mencoba menjadi sosok seorang ibu, tapi gagal total. Roxas menderita kelainan mental—skizofrenia, kalau tidak salah. Tetangga mencemooh kami, lalu akhirnya aku jadi seperti yang kau lihat sekarang ini. Bapak tua pemabuk, perokok berat, galak, dan agak sinting. Aku hampir menyerahkan adik-adikmu ke pamanmu karena aku takut aku akan melukai mereka saat aku mabuk. Dan bagiku saat itu, kau sudah mati, Ventus…. Tidak ada gunanya mencoba menghubungi orang yang sudah mati….”
“Tidak…. Tidak!” Ventus berdiri dari sofa. “Ini bodoh! Ini… tidak masuk akal!”
Pappy minum lagi. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Ventus. Seperti itulah yang kurasakan setahun lalu.”
Ventus Strife teringat malam setahun lalu, saat ibunya memohon agar dia pulang ke rumah untuk menyingkirkan sejenak kesibukan kuliahnya agar dia dapat berkumpul bersama keluarganya. Ventus Strife teringat saat dia berteriak pada wanita itu, mengatainya tidak peduli pada masa depannya. Ventus Strife teringat betapa sialan dirinya, bagaimana dia telah berubah dari sosok anak lelaki naif menjadi sesosok bajingan. Bajingan yang telah menyakiti hati lembut ibunya, hati lembut yang dulu selalu menjadi tempatnya bersandar dan menangis.
Ventus Strife berlutut di lantai ruang keluarga itu.
“Maafkan aku…. Pappy, maafkan aku….” Air matanya meluap keluar dari kelopak mata, mengalir menuruni pipi dan menetes-netes. Tubuhnya berguncang, jantungnya nyeri. Meremas tinjunya sendiri, Ventus merasa jijik pada dirinya setahun lalu. “Aku… khilaf. Aku… seharusnya pulang waktu itu. Karena ini rumahku, tempatku pulang. Tempat di mana semuanya menantikanku, menyayangiku, dan mendukungku. Bagaimana bisa aku lebih mementingkan kuliahku daripada keluargaku?! Pappy, aku menyesal. Aku menyesali semua yang telah kukatakan pada Mammy setahun lalu.”
“Hal paling penting dalam hidup, Ventus,” kata ayahnya dengan tenang, “bukan dari mana kau berasal, tapi ke mana tujuanmu. Ikuti hatimu. Hatimu adalah pemandu terbaikmu. Dan dia akan memandumu ke tujuanmu, ‘rumah’.”
“Dan hatiku telah memanduku kembali ke sini, ke tujuanku, ke rumahku. Keluargaku.” Air matanya masih mengucur. Dia yakin dia terlihat sangat aneh dan menyeramkan sekarang.
“Ibumu selalu mengatakannya,” lanjut Pappy. “Dia wanita terbaik yang pernah kutemui.”
“Aku tidak pernah sempat memberitahunya bahwa aku mencintainya, bahwa aku sangat bahagia telah dilahirkan sebagai putranya.” Ventus mengusap air matanya. “Bahwa aku menyesal….”
“Dia telah memaafkanmu, Nak. Dia telah memaafkanmu.” Ayahnya ikut berlutut di sampingnya, lalu membungkus tubuh pemuda itu dengan kedua tangan kurusnya. “Aeris mencintaimu, sebagaimana aku mencintaimu. Ventus, anak kami, di mana pun kau berada, menjadi apa pun kau nantinya, kau tetap bayi kecil kami yang berharga.”
“Maafkan aku…. Maafkan aku….”
Salju berguguran makin cepat, makin deras. Suaranya menghantam kaca jendela bersahut-sahutan dengan lagu-lagu yang masih berputar. Kehangatan di rumah itu membuat Ventus Strife serasa melayang, melambung hingga menembus awan-awan. Jam dinding berdentang di angka dua belas, gemerincing lonceng dan petasan memenuhi malam Natal itu.
***
Roxas berlarian di jalanan pemakaman yang putih bersih. Sora di belakangnya, tersandung tumpukan salju dan terjerembab.
“Tunggu!” Dia bangkit lagi, dan mengejar adiknya lagi.
“Dasar curang!” Roxas berteriak saat Sora mendorongnya hingga terjatuh.
“Sora, jangan lakukan itu pada adikmu!” ayah mereka berteriak. Sora cuma cekakakan sambil berlari makin kencang.
Ventus mengikuti di belakang dua adiknya dan ayah mereka. Hari ini tidak sedingin kemarin, matahari bahkan bersinar terang. Dia menimang karangan bunga di tangannya, mengendusnya sesekali. Pappy bilang Mammy dimakamkan di pemakaman umum Radiant. Dia bahkan bilang bahwa dia telah memesan satu tempat di samping makam Mammy untuk dirinya kelak. Cinta sejati memang tidak pernah mati, bukan?
Mereka berhenti di depan nisan besar berukir gambar bunga. Ada mantel merah jambu dan topi rajut merah di depan nisan itu. Sepertinya itu benda-benda yang Roxas letakan kemarin malam.
Ventus berlutut di depan nisan. “Hai, Mammy. Ini aku Ventus.” Dia meletakkan karangan bunga. “Aku beli ini untukmu. Mungkin kurang bagus, karena harganya murah. Tapi aku menggunakan uang tabunganku sendiri untuk bunga ini.”
“Katakanlah,” sahut ayahnya.
Ventus mengangguk. “Setahun lalu aku tidak pernah sempat mengatakan ini padamu.” Dia tersenyum. “Selamat Natal, Mammy.”
Suara gelak tawa dan teriakan adik-adiknya terdengar di belakang disertai gerasak-gerusuk salju yang terinjak. Angin berembus pelan, menciptakan siul saat melintasi ranting-ranting dan batu-batu nisan lainnya. Sayup-sayup Ventus mendengar,
“Selamat Natal juga, Ventus Sayang. Aku mencintaimu.”
“Aku juga.”

FIN

TRIVIA
Usia Ventus di cerita ini 20 tahun. Sora 10 tahun, dan Roxas 9 tahun.
Inspirasi berdasarkan dari listening take home assignment yang saya dapat pas semester 2. Judulnya Christmas Lights. Inspirasi lainnya berasal dari temen saya. Hehee :D

Happy Christmas!