A/N: Jadi ceritanya, saya suka nulis
cerpen lepas dari novel saya, Brink of Senses. Nah, ada beberapa cerpen yang
sempat saya tulis, tapi yang inilah yang berhasil terselesaikan. Hahaha!
Kalau kalian belum baca Brink of
Senses, it’s okay. Cerpen ini bisa diikuti tanpa membaca novelnya dulu.
Tapi kalau penasaran, jangan lupa beli
novelnya di toko-toko buku terdekat!
Yang putih kovernya, lho!
Yang begini ini:
Ingat ya. Judulnya Brink of Senses. Ada 'S' di belakangnya. Penulisnya namanya Mertha Sanjaya alias saya sendiri. Ehehe. Kovernya hitam-putih dengan ilustrasi balerina merah. Kalau ketemu di tokbuk, langsung bawa pulang lho. Inget. Hehe ^_^
And here goes the story!
Enjoy!
His Name Is
Kevin
(Spin-off
short story from Brink of Senses)
Albert
Krupin membenci hidupnya.
Sebelum
berangkat sekolah tadi, anjing peliharaannya merusak sofa karena dia
lupa mengikatnya—ibunya memarahinya habis-habisan, dan ponselnya
pun disita selama seminggu sebagai hukuman. Itu masih belum seberapa.
Yang terparah adalah neneknya dari Rusia akan datang sore nanti dan
tinggal permanen di rumahnya. Albert tidak menyukai neneknya yang
suka mengomel dan bahasa Inggris-nya kacau balau. Terakhir kali
neneknya mampir ke rumah keluarga Krupin di New York City sini, dia
mengomeli Albert sepanjang malam. Dan sekarang neneknya akan tinggal
selamanya di New York?
“Mampuslah
aku,” gumam Albert, melangkah di parkiran SMA St. Abigail yang
penuh kendaraan. Yang dia perlukan saat ini adalah sesuatu untuk
pelampiasan amarahnya atau semacam wadah curhat. Sebut
saja, teman-nya
itu, si anak baru pindahan dari Wales. Kevin Huston bukan anak rajin,
karena di kelas, dia selalu terlihat mengantuk dan bosan. Tetapi
Kevin adalah wadah curhat gratisan yang cukup baik. Dia tidak pernah
mengeluh setiap kali Albert berceloteh padanya. Albert memerlukan
anak itu sekarang atau dia akan meledak di tempat saking tidak
tahannya menahan amarah dan kegelisahan.
Saat
itulah dia melihat mobil perak metalik keren yang diparkir agak jauh
dari kendaraan-kendaraan lainnya. Ada kalimat diukir di plat belakang
mobil itu:
BACK
OFF!
Albert
tahu siapa pemilik mobil itu, dan mengingatnya membuatnya makin
murka.
Dean
Clayton.
Dia
cowok populer yang dijuluki raja di sekolah ini. Clayton memegang
kendali di hampir seluruh sekolah—kecuali guru-gurunya, tentu saja.
Dia juga pernah mempermalukan Albert di kelas satu dan menyebutnya
‘pecundang’ di depan sekelompok gadis. Sejak saat itu juga Albert
sudah dicap sebagai salah satu cowok paling payah se-SMA St. Abigail.
Tidak
ada siapa pun di sekitar tempat parkir itu. Seberkas seringai
mengembang di bibir Albert.
“Saatnya
balas dendam. Sekaligus untuk melampiaskan amarah,” bisiknya.
Kemudian, dengan kekuatan penuh, dia menendangi ban mobil perak itu.
Anggap saja ban itu adalah bokong besar Clayton. “Makan itu! Dasar
kau bocah bedebah!”
Albert
kemudian mengeluarkan spidol dari tasnya. Melirik-lirik, dia
mendapati parkiran masih sesepi tadi. Sambil menyeringai lebar, dia
mencorat-coret kaca windshield mobil itu dengan
berbagai tulisan dan gambar jorok. Sambil menahan tawa, tangannya
bergerak secepat kilat.
“KRUPIN!!”
Albert
membeku di tempat. Suara itu… dia tahu betul siapa pemilik suara
itu. Tanpa pikir panjang, Albert Krupin melesat secepat kilat
meninggalkan tempat parkir dan sosok yang menjulang beberapa kaki
darinya.
“KAU
AKAN MATI, KRUPIN!!” Dean Clayton meraung keras.
***
Albert
berjalan cepat melintasi lorong-lorong sekolah. Tiap kali kakinya
menginjak lantai, terdengar suara menceklik dari gesper sepatu bot
tebalnya. Jaket kulit yang dia kenakan membuat badannya terasa dua
kali lipat lebih berat dan agak gerah. Dua detik sekali dia menoleh
ke belakang untuk memastikan keberadaan Clayton. Sejauh ini dia aman.
Sosok Clayton tidak terlihat di belakangnya. Sialan. Kalau sampai
Clayton menangkapnya, riwayat seorang Albert Krupin benar-benar akan
tamat.
Tiba-tiba
dia merasakan tubuhnya berbenturan dengan tubuh seseorang. Albert
mundur sejurus, memasuki mode bertahan dengan menyilangkan kedua
tangan di depan wajahnya.
“Aku
menyerah! Aku menyerah!!” serunya tanpa memerhatikan siapa yang
sudah dia tubruk.
“Al!”
jerit orang itu. “Kau kenapa, sih?”
Albert
mendelik mendengar suara itu. Dia menurunkan kedua tangannya dan
mengembus napas keras. “Astaga! Ternyata kau, Kevin! Man,
kau hampir bikin aku—Hei, ini kan ruang kepala sekolah! Kau baru
buat masalah sampai dipanggil kepala sekolah?” Albert berseru
ketika membaca tulisan RUANG KEPALA SEKOLAH di atas pintu besar di
belakang Kevin.
“Nope.
Aku cuma cari informasi,” jawab Kevin, menyeringai. Albert selalu
berpikir, temannya satu ini punya seringai yang mengerikan. Saat
bertemu dengan Kevin untuk pertama kalinya, Albert mengira baru saja
melihat saudara jauh Chuck Norris atau stuntman film action yang
biasanya jadi antagonis dan bernasib dihajar sampai mampus oleh si
protagonis—kontur wajahnya tidak rata, ada gurat-gurat putih di
rahangnya. Rambut cokelatnya juga selalu acak-acakan seperti sarang
burung, tidak seperti rambut pirang Albert yang dicukur hingga hampir
botak. Dan Albert yakin Kevin tidak pernah mengenal benda yang
namanya ‘sisir’.
“Informasi?
Informasi apa?”
“Tidak
penting. Lupakan saja,” jawab Kevin, masih menyeringai.
Kevin
muncul di kelas bahasa Mrs. Raymond seminggu lalu. Anak yang aneh,
agak temperamental, dan sepertinya dia punya obsesi pada warna
merah. Karena Kevin tidak pernah mau berhenti menyebut warna
merah sejak hari pertamanya di sekolah ini. Meski aneh, dia
telah berhasil memperoleh predikat cowok populer, padahal—menurut
Albert—cowok itu biasa saja. Malahan dia terlihat seperti begundal
kawakan. Sepertinya ini karena sejak hari pertama Kevin di SMA St.
Abigail, dia sudah akrab dengan Carla Friday, gadis paling populer
yang berpangkat ‘Ratu Lebah’.
Lucunya,
Kevin lebih memilih Albert daripada cowok-cowok populer lainnya.
Mungkin karena di awal kemunculan Kevin di sekolah, Albert-lah orang
pertama yang mengajaknya bicara—selain Carla, tentunya.
Tetapi
Albert tidak tahu, apakah Kevin memang benar-benar ingin berteman
dengannya atau hanya sedang mencoba membunuhnya perlahan-lahan.
“Omong-omong,
Al, kenapa tampangmu begitu? Kau kelihatan seperti baru dikejar
setan,” sambung Kevin.
Ya,
Clayton itu memang sebangsa setan. “Bukan. Ada cewek kelas
satu yang mengejar-ngejarku. Dia ingin mengajakku kencan, padahal aku
sudah menolaknya berkali-kali,” kilah Albert, memutuskan
meninggalkan lorong cepat-cepat.
“Aku
tidak percaya.” Kevin terkekeh, berjalan menyamai kecepatan Albert.
“Sesukamulah!”
Albert melempar kedua tangannya ke udara. Perlahan rasa takut yang
berputar dalam dadanya menguap lenyap. Namun kemudian, kegelisahan
yang dia rasakan sebelum berangkat sekolah kembali lagi—keluarganya.
“Tahu tidak? Ibuku marah besar padaku, dan nenekku dari Rusia akan
datang!”
“Oh,
nenekmu yang cerewet itu. Siapkan saja sumpal telinga—Hai! Trims!
Kau juga!” Kevin menyahuti ucapan Albert dan membalas sapaan dua
orang yang melintasinya secara bersamaan (“Hei, K. H.!”, “Dude,
kau kelihatan keren hari ini!”).
Albert
meraung, “Ya ampun! Aku benci hidupku! Apa lebih baik aku pindah
saja dari New York dan mengganti nama belakangku?”
Tiba-tiba,
seperti baru dihantam tongkat bisbol, Albert merasakan perih di
bagian belakang kepalanya.
“Cuma
begitu saja kau mau pindah dari sini?”
Mengelus
kepalanya, yang ternyata baru saja dipukul oleh Kevin, Albert
mendengus pada temannya, “Memangnya kenapa? Aku benci hidupku saat
ini!”
“Kau
belum merasakan betapa susahnya hidupku sebelum pindah ke sini.
Setelah kau merasakannya, baru kau boleh pindah.” Wajah Kevin
merah, bibirnya melengkung ke bawah. Matanya yang disipitkan terlihat
agak menyeramkan.
Albert
menatap Kevin dengan tak percaya. Omongan pemuda itu terdengar
terlalu muluk-muluk seperti kalimat dalam film picisan. “Jangan
ngawur! Kau tidak terdengar seperti Kevin yang kukenal belakangan
ini.”
Tiba-tiba
terdengar suara langkah kaki banyak orang dari belakang Albert dan
Kevin. Albert menoleh ke sumber suara, dan mata birunya melotot
sebesar jeruk.
“Sial!
Itu Clayton!”
Dean
Clayton berjalan di depan empat anak laki-laki bertampang sangar.
Wajah Clayton sendiri merah dan mulutnya komat-kamit tanpa henti.
Rambutnya yang kuning dan berdiri di tengah kepalanya membuatnya
terlihat mirip ayam jantan. Dilihat dari langkah cepat dan tatapan
yang terarah padanya, Albert tahu Clayton sedang mencarinya.
Albert
memutar haluan. Kakinya sudah siap membawanya kabur sejauh mungkin
dari Clayton. “Sorry, Kev. Aku harus pergi sekarang. Nanti
kuceritakan lagi sisanya. Oke?” Dan dia kabur secepat kilat.
***
Tetes-tetes
air bergema di toilet anak laki-laki. Albert duduk di dalam salah
satu bilik toilet anak laki-laki. Hari sialnya terasa semakin parah
karena dia harus sekelas dengan Clayton—dengan Kevin juga, sih,
sebenarnya—di beberapa jam pelajaran. Dia sudah menghabiskan
beberapa jam bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain demi
menghindari Clayton. Pertama dia sembunyi di toilet, lalu di
perpustakaan, di gym, dan akhirnya di toilet lagi. Tidak
sanggup rasanya bertatap mata dengan Clayton. Kalau sampai Albert
tertangkap, Clayton pasti akan menghajarnya habis-habisan sampai dia
tidak bisa bergerak lagi, lalu akan melemparnya ke Sungai Hudson.
Pintu
toilet mendadak digedor dari luar. Albert merinding. Jangan-jangan
itu Clayton dan antek-anteknya yang sudah siap menghajarnya. Oh,
tidak! Kalau begini, Albert akan benar-benar tamat!
“Al!
Kau di dalam?”
Itu
suara Kevin! Albert bangkit dari posisi duduknya, tangannya meraih
kunci pintu. Kemudian dia teringat Kevin dan Clayton berteman. Selain
berkat Carla, Kevin bisa jadi sepopuler sekarang juga berkat Clayton.
Clayton sudah merekrutnya menjadi anggota gengnya dengan pangkat
tinggi—bukan kacung seperti kebanyakan anak baru yang ingin jadi
populer. Jelas mereka akan saling bahu-membahu untuk menghancurkan
Albert. Meski selama ini Kevin belum pernah sekali pun bertindak di
luar batas wajar dan masih bersikap normal pada Albert. Tetapi siapa
tahu kalau itu semua cuma akal-akalan Kevin. Bisa jadi di luar bilik
sempit berbau tengik ini, Kevin sedang bersama Clayton.
“Hei!
Siapa di dalam?” Kevin berseru lagi.
Albert
merunduk, menempelkan dirinya di lantai toilet yang dingin. Dengan
susah payah, dia mengintip ke luar dari celah sejengkal di antara
pintu dan lantai toilet. Hanya ada sepasang kaki bersepatu kets
putih. Kevin sendirian.
Sedetik
kemudian, Albert menghambur keluar dari bilik toilet itu dan
megap-megap seperti ikan.
“Ya
ampun! Kau tidak muncul di kelas, dan ternyata kau sembunyi di sini?”
tanya Kevin, mengamatinya dari atas ke bawah dengan tatapan jijik.
“Apa-apaan kau?”
Albert
bersandar di dinding terdekat. “Clayton… Dia tidak ke sini
bersamamu, kan?”
“Oh,
dia. Dia mencarimu sejak tadi. Entah kenapa,” kata Kevin dengan
tenang. “Tapi, tidak. Dia bolos jam pelajaran kelima bersama dua
temannya. Kurasa mereka pulang duluan, seperti kemarin.”
Albert
mengembus napas lega. Barusan Kevin terdengar seperti seorang
penyelamat. Semoga semua ini bukan salah satu dari akal-akalan Kevin
untuk menghancurkannya. Kebanyakan cowok populer seperti itu, kan?
Tapi setidaknya berharap bukanlah dosa.
“Aku
sudah keliling sekolah mencarimu. Ponselmu juga tidak bisa dihubungi.
Kupikir kau sudah pulang atau bolos,” lanjut Kevin, menyentak sadar
Albert.
“Seburuk
apa pun aku, Kev, aku tidak pernah bolos!” sergah Albert, lalu dia
mendesah panjang. “Setidaknya Clayton sudah pergi.”
Kevin
mengerutkan keningnya. Matanya yang hijau sendu menunjukkan
keingintahuan. “Ada apa denganmu dan Dean?”
Albert
melirik-lirik sekitarnya, was-was. “Ka-kau mau tahu?”
Temannya
berkacak pinggang. “Ya, tapi tidak di sini. Aku tidak suka dengar
cerita di toilet. Lebih baik kau ceritakan saja di kantin sambil
makan siang.”
Setelah
dipikir-pikir, Kevin ada benarnya juga. Albert sangat lapar setelah
bersembunyi berjam-jam. Sebelum menghadapi kenyataan, lebih baik
mengisi perut dulu.
***
Dia
mengantre dengan sabar di kantin—menunya sosis dan kentang tumbuk
dengan sekotak susu—bersama Kevin. Mata Albert tidak bisa berhenti
bergulir ke sana-kemari untuk memastikan dirinya memang aman. Kantin
itu ramai sekali. Anak-anak menduduki meja-meja, menikmati makan
siang mereka sambil berbincang-bincang. Sesekali jepretan kamera
ponsel terlihat di beberapa meja. Dari banyaknya orang di kantin itu,
Clayton tidak terlihat sama sekali. Mungkin Kevin benar tentang
Clayton yang bolos seperti biasanya.
“Dude!”
Albert berseru setelah mendapatkan jatah makan siangnya. “Aku
bahagia!”
Kevin
memimpin ke salah satu meja persegi di pojok kantin. “Sedetik lalu
kau ketakutan seperti sedang dikejar setan, dan sekarang kau
bahagia?”
“Memangnya
kenapa? Aku tidak boleh bahagia?” Albert duduk di seberang temannya
di meja persegi itu. Posisi meja yang cukup jauh dari meja-meja
lainnya membuatnya merasa seperti orang yang terasingkan di sekolah
ini.
“Tidak
ada yang melarangmu bahagia, Al,” kata Kevin. “Kau cuma tidak mau
alasanmu berbahagia diketahui orang lain, jadi mereka tidak akan
mencuri kebahagiaanmu. Tapi aku tidak akan mencurinya. Karena aku
sendiri sudah bahagia di kota baruku ini, di New York.”
“Kau
bicara seolah kau pernah melakukan tindak kriminal di kampung
halamanmu!” Albert tertawa terbahak-bahak. Ya ampun. Mengapa
rasanya lega sekali setelah berada di kantin yang bebas dari
keberadaan Clayton? Saking leganya, Albert merasa sebentar lagi akan
melayang-layang di udara.
“Pernah,
kok.”
Angan-angan
Albert kandas seketika. Dia menatap temannya dengan tatapan tak
percaya. “Apa katamu?”
Kevin
tidak menjawabnya. Tatapannya penuh nostalgia yang kesannya agak
seram bagi Albert pribadi. Selama ini Kevin memang belum pernah
menceritakan seperti apa hidupnya di Newport selain bahwa dia
membenci kampung halamannya dan segala tentangnya. Tiap kali Albert
menanyakan alasannya, Kevin tidak pernah mau memberitahunya.
Tiba-tiba
Albert merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Kerasnya suara
nampan alumunium mendarat di meja plastik ditambah remah-remah
kentang tumbuk yang mencolot ke mana-mana mengagetkannya.
“Hei,
boleh numpang di sini? Meja lainnya penuh.”
Albert
terperanjat dan nyaris terkencing di tempat. Clayton tiba-tiba saja
sudah duduk di sampingnya. Badannya bau tengik, seperti campuran
keringat dan cologne yang memuakkan. Saat itu juga,
Albert merasakan rambut halus di lengan dan tengkuknya
meremang. Kevin menipuku!
“Boleh
saja,” jawab Kevin sambil mengangkat bahu. “Kukira kau bolos.”
“Bolos?
Aku?” Clayton terdengar tersinggung. Albert tidak berani berkutik
di kursinya dan tidak berani menatap musuh bebuyutannya itu.
“Kaupikir aku seburuk itu, eh?”
“Cuma
dugaanku,” sahut Kevin cepat.
Clayton
tertawa, lalu menepuk punggung Albert keras-keras sampai dia
batuk-batuk. “Krupin, ke mana saja kau tadi, huh? Aku sudah
mencarimu ke mana-mana!”
Albert
masih tidak berani menatap Clayton. Dia juga tidak berani bersuara.
Tubuhnya malah gemetaran dan rasanya dia ingin menangis sambil
berteriak-teriak.
“Jangan
ganggu dia. Kondisinya sedang buruk.”
Clayton
dan Albert segera berpaling pada Kevin Huston.
Kevin
makan dengan tenang, dan berkata, “Ada cewek kelas satu yang
mengejarnya terus-menerus. Kasihan Al. Dia harus mati-matian kabur
agar tidak tertangkap. Cewek itu mengerikan, soalnya.”
“Damn, Man!
Kau memang sial sekali!” Clayton tertawa keras sekali sampai
telinga Albert pekak. Lalu dia menjerat leher Albert dengan lengan
besarnya. “Kasihan sekali kau, Bung! Kasihan sekali!”
Albert
sesak napas. Kurang ajar! Aku bisa mati!
Clayton
membebaskannya beberapa saat kemudian—Albert batuk-batuk sambil
mengelusi lehernya. “Hei, Huston, bagaimana kalau nanti malam kita
adakan pesta kecil-kecilan di rumahku? Kita bisa ajak bocah ini
juga.” Clayton menepuk-nepuk kepala Albert. “Nanti aku akan
mengajak teman-temanku yang lain juga. Kita makan barbekyu, nonton
film bareng, lalu jalan-jalan sampai tengah malam! Kalau kita
beruntung, kita bisa lihat balapan di pusat Manhattan! Dan Krupin
bakal jadi tamu istimewa kita!”
Albert
tahu apa yang sedang Clayton pikirkan. Cowok itu tidak mungkin
mengundangnya baik-baik. Dia pasti akan menghabisi Albert di rumahnya
setelah memperbudaknya sampai kehabisan tenaga. Tentu Albert akan
menolak. Mana mungkin dia jatuh ke jebakan Clayton semudah ini. Namun
suaranya enggan keluar. Celaka!
“Bagaimana
menurutmu, Huston?” tanya Clayton kepada Kevin. “Kau yang
tentukan, soalnya kau yang menemukan bocah ini duluan.”
Yang
bisa Albert lakukan sekarang adalah memaki tanpa jeda di dalam
kepalanya dan berharap Kevin menolak ajakan Clayton. Kalau sampai
Kevin setuju, matilah Albert.
“Maaf.”
Satu
kata itu sukses membuat Albert membuang seluruh pikiran buruknya. Dia
menatap Kevin dengan takjub, mulutnya ternganga.
“Kami
tidak akan datang, Dean. Aku tidak suka pesta, apalagi yang sampai
tengah malam,” kata Kevin. Makan siangnya sudah habis separuh. “Kau
tidak tahu apa yang ada di balik… kegelapan malam. Kalau kau mau
pesta sampai tengah malam, ajak yang lain saja.”
“Oh,
ayolah, Huston! Kita akan beri sedikit pelajaran juga pada Krupin!”
“Jawabanku
tetap tidak.”
Clayton
memberengut dan komat-kamit. Dengan cepat, dia bangkit sampai
kursinya terbanting ke lantai. “Awas kau,” bisiknya pada Albert,
kemudian pemuda itu menyambar nampannya, dan melangkah pergi.
Setelah
Clayton cukup jauh dari meja Albert, Albert akhirnya bisa bernapas
lega. Kebahagiaan yang tadi sempat dia rasakan kembali memenuhi
relung dadanya. Tubuhnya terasa ringan dan dia siap melayang ke udara
lagi saking bahagianya.
“Man,
kau menyelamatkanku!” teriaknya pada Kevin sambil melempar kedua
tangannya ke udara. “Aku tahu Clayton pasti berencana
menghancurkanku sampai ke tulang-tulang! Kau benar-benar telah
menyelamatkanku! Gila! Aku bisa merasakan diriku yang lama, diriku
yang ceria dan percaya diri, telah kembali! Sialan si Clayton itu!
Suatu hari nanti akan kubalas dia! Akan kubalas dia dengan lebih
kejam lagi!”
“Kau
mau apa? Melempari jendela rumahnya dengan telur busuk?” Kevin
terkekeh. “Memangnya ada apa denganmu dan Dean? Kalian pasti
terlibat masalah besar, ya?”
Albert
ikut tertawa pelan. Dia memperbaiki posisinya di kursi, dan mulai
menyantap makan siangnya yang sudah dingin. “Soal aku dan Clayton,
sebenarnya tadi pagi aku mencorat-coret mobil bocah bedebah itu
dengan spidol. Aku ketahuan, lalu aku kabur. Begitulah
kronologisnya.”
Mata
Kevin melebar. “Ah, pantas saja kau kabur waktu Dean datang tadi
pagi.”
Setelah
meneguk susu untuk membasahi tenggorokannya, Albert berkata, “Untung
saja kau bersamaku, Kev! Kalau kau tidak ada, aku pasti sudah tewas!”
Kevin
mendengus. “Aku, kan, tidak melakukan apa-apa.”
Kevin
Huston memang aneh. Albert tidak henti-hentinya bersyukur telah
mengenal cowok satu ini, cowok pindahan beraksen Welsh yang
awalnya terdengar seperti kodok dari sejenis hutan hujan. Tidak hanya
mau berteman dengannya, Kevin juga sudah menyelamatkan nyawanya!
Sepertinya, seluruh dugaan buruk Albert tentang Kevin tidak benar.
Buktinya, Kevin menyelamatkan nyawanya!
“Bung,
kau memang aneh!” Tanpa sadar Albert mendesah lega. “Kapan-kapan
kau harus mampir ke rumahku. Nenekku pasti akan menyukaimu!”
“Ide
bagus,” balas Kevin sambil tersenyum lebar.
“Omong-omong,
aku heran kenapa kau mau berteman denganku. Kau tahu, kan, aku ini
bukan cowok populer atau apa. Banyak yang menganggapku payah, padahal
aku tidak payah. Kau tidak takut kepopuleranmu luntur karena berteman
denganku?”
Tatapan
mata Kevin mendadak terlihat mengerikan. Seolah dia ingin menerkam
Albert saat itu juga, lalu mencabik-cabik wajahnya sampai dia tidak
dikenali lagi. Albert buru-buru menampar mulutnya sendiri. Mengapa
pula dia menanyakan hal itu tadi? Celaka! Mulutnya memang sering
hilang kendali.
“Aku
tidak percaya dengan mitos cowok populer dan tetek bengek semacam
itu,” jawab Kevin. Tatapannya masih mengerikan. “Aku cuma ingin
menjalani hidup baruku dengan bahagia. Dan menurutku, berteman dengan
orang payah tidak akan membuatmu kelihatan payah juga. Semua itu cuma
mitos! Tidak ada yang namanya berteman malah membuat petaka.
Persahabatan yang sesungguhnya akan membuka peluang untuk sukses,
bukan malah mencelakakan.”
Albert
tertawa saja mendengar jawaban Kevin. “Aku tidak mengerti, tapi
kurasa ucapanmu ada benarnya juga.”
“Baguslah
kalau kau sadar.” Kevin berdiri dari kursinya, membawa nampan
kosongnya dengan dua tangan. “Sabtu ini aku akan ke Battery Park
bersama Carla. Kau mau ikut? Akan kukenalkan kau pada Scarlett.”
Mendengar
nama itu, Albert terlonjak di tempat. “Scarlett? Gadis penari yang
kau bicarakan di kelas Mrs. Raymond waktu itu?” Dia bersiul
singkat. “Tentu saja aku ikut, Man! Aku juga mau ketemu
dengannya dan kenalan dengannya!”
Kevin
tertawa. “Tentu saja. Temanku adalah teman Scarlett juga.”
Albert
tidak kuasa menahan tawa lepasnya. Dia merasakan dirinya kembali
melayang di udara. Ini kebahagiaan, dan kebahagiaan itu baru dia
peroleh dari temannya yang aneh. Meskipun keadaan rumahnya kacau,
meski Clayton masih mendendam padanya dan akan menghabisinya suatu
hari nanti, dia tahu masih ada Kevin Huston yang bisa diandalkan dan
bisa dia sebut sebagai teman. Seorang teman yang
sesungguhnya.