A/N: HAPPY
CHRISTMAS, EVERYONE!
Ini fic onsehot
yang kubuat untuk merayakan Natal! Well, semoga menghibur yaa :D
Enjoy!
Disclaimer: I
own nothing….
A Year Ago
Ventus
benci Natal.
Dia
duduk di bangku bandara, memangku laptopnya yang menampilkan sederet presentasi
dan artikel. Dia tidak pernah menyangka kuliah ternyata seberat ini. Setiap
hari selalu berkutat dengan buku dan laptop, bersarang di perpustakaan kampus
seperti laba-laba, dan berkeliaran ke sana-ke mari mengejar dosen-dosen untuk
perbaikan nilai. Bahkan di hari Natal sekalipun, dia tidak bisa istirahat.
Ventus
benci Natal.
Memangnya
apa yang bisa dia dapatkan di hari Natal? Hadiah? Dari siapa?
Dia
membuka kotak masuk e-mailnya. Ada
beberapa e-mail baru dari
teman-temannya.
Subjek: Apa kabar?
Hai, Ven! Sudah lama sekali kita
tidak ketemu. Bagaimana kuliahmu? Apa masih sesibuk dulu? Well, setidaknya kau
bisa liburan di Hari Natal. Polisi tidak libur di Hari Natal. Tapi aku akan
pulang kampung setelah Tahun Baru. Kuharap kita bisa bertemu lagi, Ven.
Oh, ya, Selamat Natal! J
Subjek: DI MANA KAU?
DI MANA KAU? ISA JUGA HILANG! KENAPA
AKU DITINGGAL SENDIRI DI ASRAMA???
Subjek: Selamat Natal.
Selamat Natal.
Dari Isa dan keluarga.
Sori, aku pulang duluan. Ada
urusan mendadak. Trims, Ven.
P.S Kalau kau mau pulang kampung,
pulang saja. Jangan pedulikan Lea.
Subjek: Ke mana kau?
Kau masih hidup?
Kusarankan kau pulang ke rumah
tahun ini. Aku dengar dari sepupumu, adikmu yang paling kecil mencoba mengutil
di supermarket. Untung saja dia yang memergokinya, kalau tidak, adikmu bakal
dibawa ke kantor polisi! Kau harus pulang dan nasihati adik-adikmu! Orangtuamu
juga mencemaskanmu.
Ventus
menghela napas. Teman-temannya dan mulut besar mereka. Lea dan Isa adalah dua
teman sekamarnya. Lea sangat ribut, sementara Isa sangat kalem. Dua pribadi
yang bertubrukan itu selalu menyebabkan malapetaka di kamar asrama mereka.
Kadang Ventus lebih suka mengabaikan mereka daripada terlibat malapetaka.
Aqua
dan Terra dulu kakak kelasnya di SMA, tetangganya juga. Sifat mereka terlalu
dewasa untuk usia mereka. Setelah lulus SMA, Aqua mendaftar ke akademi polisi,
sedangkan Terra melanjutkan ke universitas di luar negeri.
Sempat
Ventus berpikir, dia tidak mungkin bisa mengikuti jejak dua temannya. Dan
tiba-tiba keajaiban terjadi. Dia cuma menendang bola sepak itu saja. Cuma
sekali, dan bola itu menerobos pertahanan pemain tim musuh sampai ke gawang
mereka tepat sebelum peluit tanda pertandingan usai ditiup. Gol ciptaan Ventus
memperoleh sorak-sorai paling meriah sekota. Radiant High memenangkan
pertandingan sepak bola antar kota dan menjadi idaman para pecinta olahraga.
Semua berkat Ventus, si pendek dan kerempeng, pemain cadangan, kacung para
pemain inti—dan dia turun ke lapangan karena salah satu pemain cedera—yang
mencetak Gol Emas—begitu mereka menyebutnya. Hadiah yang mereka berikan membuat
Ventus diterima di Universitas Twilight delapan ratus kilometer dari rumahnya.
“Seharusnya
aku tidak pernah mencetak gol itu,” gumamnya, asap putih mengepul dari
mulutnya. Perhatiannya teralih kembali pada layar laptop, pada e-mail paling atas.
Subjek: Bego
Oke, akhirnya aku tahu alamat e-mail-mu.
Untung saja aku pintar.
Kau ini kenapa, Ven? Orangtuamu
sudah mencoba menghubungimu sejak lama, tapi kau bahkan tidak pernah membalas
pesan singkat mereka atau mengangkat telepon. Apakah otakmu ketinggalan di
lapangan sepak bola itu?
Aku tahu aku kasar, tapi INILAH
AKU! Aku cuma mau bilang, kau payah. Kau payah sekali sampai aku malu jadi
sepupumu! Untung saja aku tidak punya hubungan darah secara langsung denganmu,
tidak seperti adik-adikmu itu. Mereka jadi aneh. Kayak zombi yang tidak pernah
makan otak manusia. Terutama Roxas. Aku kasihan pada Bibi Aeris. Paman Cloud
tidak pernah mau berhenti menangis.
Sudahlah. Sampai jumpa…. Yah,
semoga kita tidak ketemu lagi.
“Menangis?”
Ventus mengernyitkan dahi. “Roxas jadi aneh?”
Dulu
keluarga Ventus selalu merayakan Natal bersama—setidaknya sampai akhirnya
Ventus kuliah. Tahun lalu dia tidak pulang ke rumah untuk merayakan Natal. Dia
terlalu sibuk, lebih sibuk dari seekor lebah pekerja. Bahkan makan pun dia
lupa, dan dia tidak pernah bisa tidur lebih dari tiga jam sehari. Ibunya
menelepon saat Ventus sedang di puncak amarahnya setelah artikel yang sudah
susah payah dia tulis terhapus dari memori laptopnya, menyuarakan betapa
kecewanya dia pada putra sulungnya.
“Kalau
Mammy lebih mementingkan jamuan makan malam murahan dan kotak hadiah yang
dibungkus seadanya dengan isi seadanya daripada masa depanku, aku tidak akan
pernah pulang ke rumah lagi!”
“Ven, Sayang, Mammy dan Pappy merindukanmu.
Adik-adikmu juga.” Itu ucapan ibunya yang terakhir sebelum Ventus menutup
telepon dan membanting ponsel ke lantai asramanya.
Ventus
ingat telepon berdering-dering tanpa henti sesaat setelah itu. Dia tidak
mengangkatnya. Dia bahkan tidak sudi membaca nama yang ada di layar ponsel.
Kemudian dia ingat membenamkan ponselnya ke dalam gelas susu Lea untuk
membungkam bunyinya—dan Lea mengamuk hingga tengah malam.
Kini
Ventus menyesal telah mengatakan semua itu pada ibunya. Selama setahun, dia
merenung dan memaki dirinya sendiri. Bodoh sekali dia. Bodoh sekali!
Sudah
setahun berlalu tanpa komunikasi antara dirinya dan keluarganya. Ventus
memutuskan untuk pulang dan merayakan Natal bersama keluarganya, meski tumpukan
asesmen masih mengintainya—apalagi setelah dia membaca e-mail dari sepupunya. Di dalam tas ranselnya yang besar, dia telah
menyiapkan kado-kado untuk orangtuanya dan dua adik kecilnya. Mungkin sudah
banyak hal berubah setahun belakangan ini. Mungkin, kepulangannya tahun ini
akan menebus kesalahannya tahun lalu.
***
Salju
berguguran menyelubungi rumah itu. Putih dan tebal. Asap meliuk-liuk keluar
dari cerobong asap di sisi timur genting, lampu kelap-kelip bergelantungan di
atas pintu depan. Cahaya lampu menerobos jendela rumah, memancarkan sinar
keemasan ke tanah berselimut salju. Ventus bisa mendengar suara tawa dari dalam
rumah itu, ditambah dengan aroma masakan. Dia membuka gerbang depan. Jerujinya
dingin dan basah.
Melintasi
jalan setapak yang tertutup salju, Ventus mengerling sekeliling. Semak-semak
bunga kesayangan ibunya hanya tersisa ranting-rantingnya, pepohonan juga. Sepeda
anak-anak ditinggalkan di bawah salah satu pohon kering, tertimbun salju. Tanpa
sadar dia tersenyum saat ingatannya berlari ke masa lalu ketika dia mengajari
adik-adiknya naik sepeda.
“Ventus?”
Ventus
tersentak di tempat. Buru-buru dia berbalik. “Siapa?”
Seorang
anak kecil berdiri di sana. Dia mengenakan jaket hitam, celana panjang sewarna,
dan topi rajut dari wul. Tangannya terselubung sarung tangan wul juga. Dia
tampak sangat kedinginan, menggigil dan meniup-niup tangannya.
“Roxas?”
Ventus membungkuk menyamai tinggi adiknya. Dia tidak bisa menyembunyikan betapa
bahagianya dia melihat adik kecilnya lagi. Adiknya tampak sedikit lebih tinggi sejak
terakhir kali mereka bersama. Dan Roxas tidak kelihatan aneh seperti apa yang
Vanitas, sepupunya, tulis dalam e-mail-nya.
Salju masih berjatuhan dari langit malam ini, tampak seperti ketombe raksasa di
atas topi rajut Roxas. Ventus menyapu salju dari topi rajut dan rambut pirang
adiknya. “Hei, kau sudah besar. Tetapi apa yang kaulakukan di luar? Seharusnya kau
di dalam, bukan?”
“Kenapa
kau di sini? Bukankah seharusnya kau masih kuliah?” anak itu balas bertanya.
Matanya yang biru dan besar diarahkan pada mata biru Ventus.
“Aku
pulang, Roxas. Untukmu, Sora, Pappy, dan Mammy.” Ventus tersenyum, kemudian
mengulurkan tangannya. “Ayo ke dalam.”
Roxas
menggenggam tangan kakaknya. “Kita akan makan daging panggang spesial Natal.”
“Ya,
daging panggang buatan Mammy.”
“Bukan.
Buatan Pappy!”
Ventus
meliriknya penuh tanda tanya. “Kenapa bukan Mammy yang memasak?”
Roxas
melepas pegangannya dari tangan Ventus, dan melesat ke pintu depan. Tanpa
mengetuk, dia mendorong pintu terbuka. Cahaya keemasan membanjiri jalanan
bersalju. Anak itu masuk tergesa-gesa, seperti dikejar setan. Ventus mengernyit
lagi. Inikah yang Vanitas maksud dengan… aneh?
Mengabaikannya,
Ventus melesat ke dalam rumah.
Meletakkan
koper di sisi pintu, dia merasakan kehangatan familier rumah itu. Lampu-lampu
hias dinyalakan, hiasan-hiasan khas Natal digantung di dinding. Ada
pigura-pigura disusun di atas meja kecil. Ventus mengerlingnya. Ada fotonya,
adik-adiknya, dan orangtua mereka dalam pigura-pigura. Ventus tidak tahan untuk
tidak tersenyum.
“Selamat
Natal, Roxas! Dan kau kelihatan seperti tikus kecebur got.”
“Roxas,
dari mana saja kau sampai selarut ini?! Bukankah sudah kubilang jangan keluar
rumah saat turun salju dan jangan pulang di atas jam 5 sore? Aku hampir
menelepon polisi!”
“Ventus
di sini.”
Mendengar
suara-suara itu, Ventus bergegas menghampirinya. Dia tidak memberitahu
keluarganya bahwa dia akan pulang kampung. Ini kejutan. Dan dia sangat berharap
kejutan ini akan memperbaiki hubungannya dan keluarganya.
“Oke,
kau mulai bicara yang aneh-aneh lagi. Kau dihukum di kamarmu sampai pagi tiba.”
“Tapi
dia tidak akan dapat hadiah dari Santa, Pappy! Kasihan Roxas!”
“Sora,
apa kau mau dihukum juga?”
Ventus
merapat ke dinding yang membatasi ruang keluarga dengan ruang tamu. Perlahan
dan tanpa suara, dia melangkah masuk. Di ruang keluarga itu, ruangan kecil
dengan perapian bata yang apinya berkobar-kobar, keluarga kecilnya sedang
berkumpul. Ada pohon Natal besar di sudut ruangan, penuh lampu dan hiasan
berkilau. Kado-kado berserakan di bawah pohon dengan taburan kertas
kerlap-kerlip yang dipotong kecil-kecil. Suasananya hangat, lagu-lagu diputar
di radio kecil di atas perapian.
“Kejutan!
Selamat Natal, semuanya,” sapa Ventus dengan ceria. Namun mendadak dia merasa
canggung pada keluarganya sendiri.
“Ventus!”
Sora, adik lelakinya yang rambutnya cokelat liar seperti sarang gagak,
menghambur ke arahnya. Anak itu memeluknya erat-erat, sesenggukan. “Akhirnya
kau pulang juga!” Dia menoleh pada Pappy. “Pappy, Ventus sudah pulang!”
Pappy
berdiri dari sofanya. Dia sangat kurus, sehingga sweternya menggelambir di
badannya. Rambutnya gondrong, pirang seperti mentega. Raut wajah Pappy tidak
sama seperti dulu. Dia terlihat lebih tua dari seharusnya saat menoleh Ventus.
“Sedang
apa kau di sini?” tanyanya keras.
Ventus
tersentak. “Pappy, aku pulang untuk merayakan Natal bersama-sama.”
Pappy
mendecak, persis orang tua galak dalam film-film. “Bersama? Bagaimana bisa kita
dinamakan ‘bersama-sama’ kalau ibumu tidak di sini?”
Kali
ini Ventus merasakan jantungnya berdegup terlalu kencang. “Mammy kenapa? Di
mana Mammy? Dia tidak ikut merayakan Natal di rumah?”
Sora
melepas pelukannya. “Ventus, Mammy….”
Ventus
menatapnya nanar. “Kenapa? Mammy mana?”
“Mammy
kedinginan,” Roxas menyahut. Anak itu duduk memandang api dalam perapian. “Tadi
aku bawakan mantel dan topi untuknya.”
“Ada
apa dengannya?” Ventus berteriak. Amarah dan rasa ingin tahu meledak-ledak
dalam dadanya. “Ada apa dengan Mammy? Seseorang, beritahu aku!”
“Ventus,”
panggil Pappy, “duduklah.”
Meski
sungkan, Ventus duduk di samping ayahnya. Dalam jarak sedekat ini, dia bisa
mencium bau rokok dari tubuh ayahnya. Rokok dan… alkohol? Sejak kapan ayahnya
jadi perokok dan peminum? Mungkin… setahun telah mengubah banyak hal.
“Sora,
Roxas, pergilah ke kamar kalian. Kalian tidur duluan,” perintah Pappy.
“Lihat?
Inilah alasan mengapa aku tidak suka jadi anak kecil,” Sora menggerutu sambil
menghampiri si bontot di depan perapian. “Ayo, Roxas!”
Roxas
berdiri dan mengikuti Sora keluar dari ruang keluarga.
Pappy
ikut keluar setelah dua anak kecil itu pergi. Ventus menggigil tiba-tiba. Apa
yang terjadi? Mengapa sesuatu terasa sedang menjepit jantungnya hingga perih?
Apa setahun tanpa kabar bisa membuat segalanya berubah sedrastis ini?
Beberapa
menit kemudian Pappy kembali lagi dengan sebotol bir dan dua gelas tinggi. Dia
meletakkan gelas-gelas di meja kopi, lalu menuangkan bir.
“Minumlah.
Jangan malu-malu,” katanya.
“Aku
tidak minum, Pappy. Kau sendiri yang mengajariku agar tidak jadi pemabuk,
bukan?”
“Kupikir
kau sudah melupakanku.” Pappy meneguk minumannya sendiri. “Setahun tanpa kabar.
Ngerti, kan?”
“Aku…
minta maaf.”
“Aku
sudah memaafkanmu sejak aku melihatmu di rumah ini lagi, Ventus,” kata Pappy
datar. “Aku yakin ibumu juga.”
Ventus
teringat pada ibunya lagi. “Di mana Mammy? Aku… aku ingin minta maaf padanya
juga.”
Pappy
menuang ke gelasnya. “Ibumu sudah tidak ada.”
Seperti
baru disambar petir, Ventus terpaku di tempat. Seluruh suara lenyap, menyisakan
gemuruh debaran jantungnya sendiri. Tubuhnya yang tadi dingin sekarang mendadak
panas, kulitnya mengejang hingga rasanya akan segera robek. Ucapan ayahnya….
Itu tidak benar, bukan?
“Dia
meninggal setahun lalu, Ventus,” Pappy melanjutkan sambil menyeruput isi
gelasnya. “Sakit parah. Dokter menyerah. Dan dia menghembuskan napas
terakhirnya di rumah sakit. Roxas ada di sana waktu itu. Aku sudah melarangnya,
tapi anak itu nekat. Kematian Aeris di depan matanya membuatnya agak… aneh.”
Ventus
tidak bisa berkata-kata.
“Ibumu
mencintaimu. Dia selalu memanggil namamu dalam tidurnya, bahkan dalam napas
terakhirnya.” Pappy menarik napas panjang. “Dia selalu mencintaimu, Nak.
Selalu.”
Ventus
menelan ludah, lalu, “Me-mengapa tidak ada yang mengabariku? Mengabariku bahwa
Mammy sakit, bahwa Mammy membutuhkanku di sisinya saat Tuhan menjemputnya?
Mengapa aku tidak tahu apa-apa? Aku belum mati! Demi Tuhan, aku belum mati
seperti apa yang kalian pikirkan!”
Pappy
hanya mengerjap-ngerjap mirip orang bodoh. “Aku depresi setelah Aeris pergi.
Bos menendangku keluar dari kantor, dan aku harus memohon ke sana-sini agar
dapat pekerjaan baru. Sora mencoba menjadi sosok seorang ibu, tapi gagal total.
Roxas menderita kelainan mental—skizofrenia, kalau tidak salah. Tetangga
mencemooh kami, lalu akhirnya aku jadi seperti yang kau lihat sekarang ini.
Bapak tua pemabuk, perokok berat, galak, dan agak sinting. Aku hampir
menyerahkan adik-adikmu ke pamanmu karena aku takut aku akan melukai mereka
saat aku mabuk. Dan bagiku saat itu, kau sudah mati, Ventus…. Tidak ada gunanya
mencoba menghubungi orang yang sudah mati….”
“Tidak….
Tidak!” Ventus berdiri dari sofa. “Ini bodoh! Ini… tidak masuk akal!”
Pappy
minum lagi. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Ventus. Seperti itulah yang kurasakan
setahun lalu.”
Ventus
Strife teringat malam setahun lalu, saat ibunya memohon agar dia pulang ke
rumah untuk menyingkirkan sejenak kesibukan kuliahnya agar dia dapat berkumpul
bersama keluarganya. Ventus Strife teringat saat dia berteriak pada wanita itu,
mengatainya tidak peduli pada masa depannya. Ventus Strife teringat betapa
sialan dirinya, bagaimana dia telah berubah dari sosok anak lelaki naif menjadi
sesosok bajingan. Bajingan yang telah menyakiti hati lembut ibunya, hati lembut
yang dulu selalu menjadi tempatnya bersandar dan menangis.
Ventus
Strife berlutut di lantai ruang keluarga itu.
“Maafkan
aku…. Pappy, maafkan aku….” Air matanya meluap keluar dari kelopak mata,
mengalir menuruni pipi dan menetes-netes. Tubuhnya berguncang, jantungnya
nyeri. Meremas tinjunya sendiri, Ventus merasa jijik pada dirinya setahun lalu.
“Aku… khilaf. Aku… seharusnya pulang waktu itu. Karena ini rumahku, tempatku
pulang. Tempat di mana semuanya menantikanku, menyayangiku, dan mendukungku. Bagaimana
bisa aku lebih mementingkan kuliahku daripada keluargaku?! Pappy, aku menyesal.
Aku menyesali semua yang telah kukatakan pada Mammy setahun lalu.”
“Hal
paling penting dalam hidup, Ventus,” kata ayahnya dengan tenang, “bukan dari
mana kau berasal, tapi ke mana tujuanmu. Ikuti hatimu. Hatimu adalah pemandu
terbaikmu. Dan dia akan memandumu ke tujuanmu, ‘rumah’.”
“Dan
hatiku telah memanduku kembali ke sini, ke tujuanku, ke rumahku. Keluargaku.”
Air matanya masih mengucur. Dia yakin dia terlihat sangat aneh dan menyeramkan
sekarang.
“Ibumu
selalu mengatakannya,” lanjut Pappy. “Dia wanita terbaik yang pernah kutemui.”
“Aku
tidak pernah sempat memberitahunya bahwa aku mencintainya, bahwa aku sangat
bahagia telah dilahirkan sebagai putranya.” Ventus mengusap air matanya. “Bahwa
aku menyesal….”
“Dia
telah memaafkanmu, Nak. Dia telah memaafkanmu.” Ayahnya ikut berlutut di
sampingnya, lalu membungkus tubuh pemuda itu dengan kedua tangan kurusnya.
“Aeris mencintaimu, sebagaimana aku mencintaimu. Ventus, anak kami, di mana pun
kau berada, menjadi apa pun kau nantinya, kau tetap bayi kecil kami yang
berharga.”
“Maafkan
aku…. Maafkan aku….”
Salju
berguguran makin cepat, makin deras. Suaranya menghantam kaca jendela
bersahut-sahutan dengan lagu-lagu yang masih berputar. Kehangatan di rumah itu
membuat Ventus Strife serasa melayang, melambung hingga menembus awan-awan. Jam
dinding berdentang di angka dua belas, gemerincing lonceng dan petasan memenuhi
malam Natal itu.
***
Roxas
berlarian di jalanan pemakaman yang putih bersih. Sora di belakangnya,
tersandung tumpukan salju dan terjerembab.
“Tunggu!”
Dia bangkit lagi, dan mengejar adiknya lagi.
“Dasar
curang!” Roxas berteriak saat Sora mendorongnya hingga terjatuh.
“Sora,
jangan lakukan itu pada adikmu!” ayah mereka berteriak. Sora cuma cekakakan
sambil berlari makin kencang.
Ventus
mengikuti di belakang dua adiknya dan ayah mereka. Hari ini tidak sedingin
kemarin, matahari bahkan bersinar terang. Dia menimang karangan bunga di
tangannya, mengendusnya sesekali. Pappy bilang Mammy dimakamkan di pemakaman
umum Radiant. Dia bahkan bilang bahwa dia telah memesan satu tempat di samping
makam Mammy untuk dirinya kelak. Cinta sejati memang tidak pernah mati, bukan?
Mereka
berhenti di depan nisan besar berukir gambar bunga. Ada mantel merah jambu dan
topi rajut merah di depan nisan itu. Sepertinya itu benda-benda yang Roxas
letakan kemarin malam.
Ventus
berlutut di depan nisan. “Hai, Mammy. Ini aku Ventus.” Dia meletakkan karangan
bunga. “Aku beli ini untukmu. Mungkin kurang bagus, karena harganya murah. Tapi
aku menggunakan uang tabunganku sendiri untuk bunga ini.”
“Katakanlah,”
sahut ayahnya.
Ventus
mengangguk. “Setahun lalu aku tidak pernah sempat mengatakan ini padamu.” Dia
tersenyum. “Selamat Natal, Mammy.”
Suara
gelak tawa dan teriakan adik-adiknya terdengar di belakang disertai
gerasak-gerusuk salju yang terinjak. Angin berembus pelan, menciptakan siul
saat melintasi ranting-ranting dan batu-batu nisan lainnya. Sayup-sayup Ventus
mendengar,
“Selamat Natal juga, Ventus Sayang. Aku
mencintaimu.”
“Aku
juga.”
FIN
TRIVIA
Usia Ventus di cerita ini 20 tahun.
Sora 10 tahun, dan Roxas 9 tahun.
Inspirasi berdasarkan dari
listening take home assignment yang saya dapat pas semester 2. Judulnya
Christmas Lights. Inspirasi lainnya berasal dari temen saya. Hehee :D
Happy Christmas!
No comments:
Post a Comment