Pages

Saturday, May 24, 2014

REVIEW: A CUP OF TEA FOR WRITER



By: Metha

Judul                : A Cup of Tea for Writer
Penulis             : Triatni Retno A., Herlina P. Dewi, dkk
Penerbit           : Stiletto Book
Tahun              : 2012
Tebal                : 179 halaman
Genre             : Non fiksi-kisah inspiratif

A Cup of Tea for Writer ini adalah seri keempat dari seri buku kisah inspiratif A Cup of Tea terbitan Stiletto Book tahun 2012. Berisi empat belas kisah inspiratif karya kontributor-kontributor seluruh Indonesia yang telah melalui seleksi, empat kisah inspiratif dari empat penulis tamu yang namanya sudah sangat dikenal di kalangan pecinta buku Indonesia, dan dua kisah inspiratif dari pengempu Stiletto Book.
Secara garis besar, buku ini memuat kisah-kisah inspiratif pembangkit semangat—seperti tagline pada sampul buku—yang mampu menghangatkan hati pembaca. Saya, sebagai pembaca, dapat merasakan betapa cocok dan klopnya tagline pada sampul buku dengan isi buku. Tak sebentar saya merenung dan terhanyut selama membaca buku ini. Isinya sungguh membangkitkan semangat! Tak rugi beli, deh! Hehee :D
Saya akan memulai review singkat ini dari kulit awal, yaitu sampul. Jujur, saya sangat menyukai kombinasi warna dan ilustrasi bunga-bunga pada kover, juga secangkir teh yang difoto dari sudut mata burung. Sekali melihat sampul buku, saya langsung menariknya dari rak buku dan memelototinya. Indah sekali!
Di sampul belakang, ada potongan gambar laptop, kertas-kertas, dan bunga-bunga (saya suka sekali bunga!). Ilustrasi ini sangat cocok dengan sampul depan, tidak nabrak dan kejedot :P. Ditambah dengan blurb menarik (yang bawa-bawa nama J.K Rowling, penulis idola saya dan pengispirasi saya), saya semakin ingin memilikinya. Juga disebutkan ada tips menulis dari Mbak Reda Gaudiamo. Wah, saya semakin menggebu-gebu ingin memeluk dan mencium buku ini! Maka saya membawa buku ini dari rak toko ke kasir. Meski harus merogoh kocek Rp. 40.000,00 saya tidak rugi. Cinta saya pada buku ini telah membulat! :* :*

Masuk ke isi, saya disuguhi logo A Cup of Tea dan harum kertas (oke, saya memang suka membaui buku-buku).
Pembatas buku disertakan sebagai bonus. Bentuknya persegi panjang kecil dengan kombinasi warna biru, kuning, dan hijau. Ada ilustrasi kertas-kertas dan bunga-bunga lagi! SUKAAA!!


Dimulai dengan ucapan terima kasih, kata pengantar, dan daftar isi, barulah masuk ke kisah inspiratif pertama.



Senangnya Menulis oleh Triatni Retno A.
Kisah dibuka dengan kegalauan Mbak Triatni Retno karena orang-orang menganggap novel yang telah difilmkan dan terjual jutaan eksemplar barulah disebut novel keren. Mbak Triatni Retno pun galau dan malas menulis. Lalu kisah dilanjutkan dengan sejarah panjang Mbak Triatni Retno menjajaki dunia tulis-menulis yang penuh lika-liku. Kisah ini memuat nilai inspiratif bahwa tidak perlu jadi terkenal atau menjual novel hingga jutaan eksemplar. Yang paling penting, apa yang kita lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Sungguh TOP 


Sebab Impian Ayah Bukanlah Impianku oleh Ririe Rengganis
Di sini Mbak Ririe ditentang oleh ayah beliau karena bermimpi menjadi penulis. Mbak Ririe juga memilih keluar dari fakultas kedokteran dan masuk ke fakultas sastra demi mengejar mimpi beliau menjadi seorang penulis. Namun ayah Mbak Ririe tetap tidak bangga, meski Mbak Ririe sudah menerbitkan buku-buku. Nilai inspiratif yang dapat saya petik dari kisah ini adalah selalu bisa memaafkan orang lain, dan bahwa orangtua pasti selalu bangga pada prestasi anak mereka. Saya terharu baca kisah ini :’)


Tidak Akan Pernah Cukup oleh Whianyu Sanko
Kisah ini sangat mirip dengan kisah perjalanan menulis saya. Mbak Whianyu memulai karir menulisnya dengan mengikuti lomba, yang akhirnya dimenangkan dan menghasilkan sebuah antologi. Hal ini berlanjut hingga Mbak Whianyu melahirkan tiga antologi (mirip sekali dengan saya :’D ), dan merasa sangat keren dan hebat. Tetapi Mbak Whianyu malah melupakan kewajiban utama seorang mahasiswa, yaitu belajar. Kisah ini mengajarkan bahwa tidak ada penulis yang sombong, karena apa pun yang kita miliki tidaklah pernah cukup untuk merasa keren dan hebat, apalagi sombong. Saya pun tertampar dan sadar untuk menendang jauh sekecil apa pun kesombongan yang sempat merasuki diri saya. Terima kasih, Mbak Whianyu :’D :’D



Tentang Bintang Jatuh, Narsis, dan Mimpi oleh Adnan Buchori
Mas Adnan merasa dirinya tidak berbakat menulis. Beliau mulai narsis di media sosial dan bertanya-tanya ke sana-kemari soal menerbitkan buku. Mas Adnan akhirnya berhasil menerbitkan sebuah kumcer, tapi sayangnya orang-orang meremehkan kuncer tersebut. Di akhir kisah, saya belajar walaupun sesuatu tidak dianggap keren oleh orang lain, asal kita melaksanakannya dengan sepenuh hati, sesuatu itu akan menjadi sangat istimewa. 


Ollie on Writing and Dreams oleh Ollie
Mbak Ollie adalah seorang pemimpi. Begitulah yang dituliskan di pembuka kisah inspiratif ini. Bermimpi dan bermimpi, akhirnya mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Mbak Ollie berhasil menerbitkan lebih dari 25 buku dan berhasil melihat Menara Eiffel dengan mata kepala sendiri. Kisah ini ditutup dengan mimpi Mbak Ollie semoga Indonesia memiliki satu one stop book center. Mengagumkan!


Jalan Kecilku oleh Juliana Wina Rome
Mbak Juliana memiliki hidup yang sempurna. Semua itu berubah saat orangtua beliau ditipu dan seluruh rencana beliau gagal total! Mbak Juliana pun merasa drop. Saat chatting di YM, Mbak Juliana disambut meriah oleh teman-teman beliau, karena beliau sudah tidak lama muncul. Satu teman Mbak Juliana menyarankan agar beliau menulis untuk menunjang ekonomi keluarga. Sayang sekali kalau punya bakat tapi tidak digunakan dan dikembangkan. Berkat saran dari teman itu, Mbak Juliana pun bangkit kembali sebagai seorang penulis handal. Nilai inspiratif yang saya ambil adalah Tuhan selalu memberikan jalan kepada umatnya sekecil apa pun itu.



My Lovely Bapak, Abang, and Cuty oleh Mpok Mercy Sitanggang
Mpok Mercy punya bapak dan abang yang doyan nulis, sementara Mpok Mercy sendiri pengin jadi aktris! J Tetapi Bapak yakin Mpok Mercy bakal jadi seorang penulis buat menggantikan beliau. Sungguh terjadi! Mpok Mercy sekarang jadi seorang penulis bersama laptop merah imutnya yang bernama Cuty. Di sini saya diajarkan, tidak perlu jadi terkenal, asal ada dukungan dari orang-orang terkasih semua akan terasa mudah dan menyenangkan.



Runtuhkan Benteng, Jangan Malah Menciptakannya oleh Nuri Novita
Mbak Nuri sangat suka menulis, tapi sayangnya orangtua Mbak Nuri tidak mendukung. Tetapi Mbak Nuri tidak putus asa. Beliau menjadikan tentangan orangtua sebagai sebuah tantangan. Lahirlah banyak novel karya Mbak Nuri. “Penulis adalah seseorang yang ingin meruntuhkan benteng. Penulis tidak menciptakan benteng untuk menjadikan singgasana bagi dirinya sendiri.”—pg 62


Apa Yang Kau Cari? oleh Dian Kristiani
Menjadi penulis profesional adalah impian Mbak Dian, agar hasil tulisannya dapat dijadikan mata pencaharian. Mbak Dian bahkan menerima pesanan naskah yang jumlahnya sangat banyak demi menafkahi keluarga. Tetapi Mbak Dian malah sakit. Di sini saya belajar, menulislah karena kau cinta menulis, bukan karena kau mengejar target materi. Keren banget :D


Pelajaran dari Mawar oleh Haeriah Syamsuddin
Seorang teman bernama Mawar meminta Mbak Heriah menuliskan kisah cintanya dalam bentuk cerpen. Memang cerpen itu berhasil ditulis dan membuat Mawar senang, tapi tidak dengan Andi, yang menjadi salah satu karakter antagonis cerpen. Kisah ini mengajarkan agar kita tidak teledor saat menulis cerita yang berdasarkan kisah nyata.



Merangkai Mimpi oleh Monica Anggen
Profesi sebagai seorang penulis memang tak luput dari caci maki orang-orang. Begitu pula yang terjadi pada Mbak Monica. Orangtua dan adiknya sendiri menentang mimpinya menjadi penulis. Walau demikian, Mbak Monica tidak pernah putus asa.



Cemen yang Mengaku Keren oleh Setiawan Chogah
Mas satu ini iseng-iseng menulis namanya sendiri di mesin pencari Google. Seorang sarjana teknik yang telah memutuskan menjadi seorang penulis. Tapi itu tidak masalah, karena teknik telah mengajarkan Mas Setiawan untuk menulis secara ergonomis: nyaman, aman, dan sehat.


Writer versus Editor oleh Herlina P. Dewi
Kisah dibuka dengan sangat keren! SMS ancaman! Mbak Herlina cuek saja, tapi SMS ancaman itu terus bermunculan. Akhirnya, dengan bantuan polisi, Mbak Herlina dapat menguak siapa pengirim SMS ancaman itu. Kisah pun dilanjutkan dengan perjalanan Mbak Herlina membangun Stiletto Book hingga jadi sejaya sekarang. Kisah ini mengajarkan agar kita tidak pernah putus asa, walaupun jalan berliku dan kita diteror psikopat bersenjata ponsel.


Aku Tak Mau Jadi Penulis Yang Itu-Itu Saja oleh Widya R.
Wow! Judul kisah ini yang paling panjang di antara judul-judul lainnya. Berkisah tentang Mbak Widya yang ingin menjadi seorang marketing andal. Setelah lulus kuliah, beliau diterima menjadi general manager di sebuah perusahaan swasta. Kerja menulis notula setiap hari ternyata membosankan bagi Mbak Widya. Mbak Widya pun beralih profesi menjadi seorang penulis setelah membaca novel bestseller Laskar Pelangi. Saya setuju dengan ungkapan jangan takut bermimpi setinggi-tingginya.



Writer Family oleh Yas Marina
Perjuangan Mbak Marina untuk menggapai mimpi menjadi seorang penulis sangat menakjubkan. Sambil mengandung dan memomong anak, Mbak Marina tetap menulis. Begitu gigih. Sekarang anak-anaknya sudah menjadi penulis cilik. Mbak Marina yakin mimpinya pasti akan terwujud.


I Don’t Give A Shit About Popularity oleh Ika Natassa
Well, jujur, judulnya sangat tidak enak dibaca. Mungkin kalau nggak pakai kata 'shit' itu, saya lebih doyan baca judulnya. Yah, ini sih cuma pendapat saya, ya. Tetapi itulah gunanya review, pembaca jadi bisa memberi masukan kepada penulis dan penerbit :P
Kisahnya berkisar dalam perjalanan Mbak Ika menjadi penulis hebat. Banyak kalimat dalam bahasa Inggris ditulis di sini, jadi saya kurang menikmatinya. Tapi intinya, jangan pernah berhenti meraih mimpimu.



Menyusuri Jalan Aksara oleh Lalu Abdul Fatah
Setelah gagal SPMB tahun 2006, Mas Abdul harus nganggur setahun lagi untuk mengikuti seleksi berikutnya. Sembari menunggu setahun, Mas Abdul sekolah D-1 Informatika dan Komputer. Di sekolah itulah, Mas Abdul bertemu dengan dosen yang menjadi awal karirnya sebagai seorang penulis. Kisah ini mengajarkan agar kita tidak mundur walau jalan penuh rintangan. Ada juga potongan dari The Other Side of Me karya Sidney Sheldon di akhir kisah!


Sang Pemula (Menjelang) Manula oleh Ina Inong
Menulis dimulai oleh Mbak Ina sebagai tambahan penghasilan. Mbak Ina mengikuti pelatihan-pelatihan dan membuat network dengan sesama penulis. Nilai inspiratif dalam kisah ini adalah tetap semangat dan kuat mental untuk meraih mimpimu.



Mabuk Kata-Kata dan Aksara oleh Skylashtar Maryam
Bagi Mbak Maryam, menulis bukan sekadar hobi atau rekreasi, tapi juga terapi pengeluaran emosi yang terpendam. Saya setuju dengan pernyataan ini. Perjalanan Mbak Maryam sangat panjang dan penuh perjuangan. Saya sampai terharu bacanya.



Mengapa Menulis? oleh Reda Gaudiamo
Mengapa menulis? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam kisah ini. Tulisan pertama Mbak Reda adalah terjemahan cerpen O’Henry yang dimuat dalah Majalah Femina. Sejak saat itu, menulis menjadi semacam candu buat Mbak Reda. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa menulis? Mbak Reda akan menjawabnya di sini. Karena jawabannya sangat keren, saya tidak akan membocorkannya di sini. Jadi silakan baca sendiri, ya? Hehee





Begitulah ulasan seluruh kisah inspiratif dalam buku A Cup of Tea for Writer. Kisah favorit saya adalah Tidak Akan Pernah Cukup oleh Whianyu Sanko. Begitu inspiratif dan menyentuh, karena kisahnya mirip dengan kisah hidup saya. Hehee.
Kekurangan buku ini cuma berkisar dalam hasil cetakan. Beberapa lembar buku memiliki cetakan tinta kabur dan ada satu garis hitam di sisi kiri kertas. Yah cuma dikit sih, nggak apa deh. Tapi akan lebih baik kalau kualitas cetakan ditingkatkan supaya pembaca dapat membaca dengan lebih nyaman.
Saya merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang cinta membaca dan menulis dan membutuhkan kisah-kisah penyemangat. Dijamin nggak bakal rugi deh!

Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, saya berikan 5 OF 5




Diikutsertakan dalam #ReviewBukuStiletto Mei 2014

Sunday, May 18, 2014

Tutu Merah





Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai sekarang aku belum mengatakannya karena… yah, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah karena aku takut.
Aku masih ingat saat pertama kita bertemu. Kau menari di panggung, dengan tutu[1] merah berhias bulu-bulu angsa putih di pinggang. Rambut hitam selembut jaring laba-laba digelung ke puncak kepalamu. Kakimu jenjang, menyentuh lantai panggung dalam balutan sepatu pointe semerah tutu-mu.
“Lucas, makan malam sudah siap!”
Menutup jurnal harianku, aku beranjak dari kursi putar. Tidak bisa kubayangkan satu hari tanpa mencurahkan isi hatiku pada lembar-lembar kertas. Setiap hari yang selalu penuh dengan ingatan tentangmu. Kau dan tutu merahmu.
“Kenapa lama sekali?” tanya ibuku, yang kupanggil dengan sebutan Momma.
Aku memipihkan satu tangan selayaknya sehelai kertas, sedangkan satu tangan lainnya bergerak-gerak seolah sedang memegang alat tulis.
Momma mengangguk. “Yah, aku mengerti. Cepat makan. Jangan kebanyakan melamun.”
Aku mengangguk saja. Menu makan malam hari ini adalah steik berlumur saus lada hitam dan kentang goreng. Kami duduk di kursi masing-masing, melahap makan malam dalam hening.
“Mungkin kau bisa berhenti menemui dr. Garland,” ucap Momma, memecah keheningan beberapa menit kemudian.
Aku menggeleng. “dr. Garland… umm, sembuh. Sekali.”
“Tidak, dia tidak bisa menyembuhkanmu, Lucas. Sudah berbulan-bulan dia memeriksamu, memberimu ratusan resep obat, bahkan merencanakan terapi-terapi tak masuk akal seperti hydro… apalah itu! Tapi lihat hasilnya! Tidak ada yang berubah!”
“Sembuh. Err… sekali. Momma….”
Momma membanting garpu dan pisaunya di atas piring. “Lucas, aku tahu ini salahku. Tapi, kumohon, sekali saja dengarkan kata-kataku!”
Kalimat Momma sukses membuat jantungku serasa menggelinding ke lantai ruang makan. Aku mencoba cuek, menusuki steik dengan garpu dan memilah potongan kentang goreng. Momma punya kepala sangat keras. Begitu keras sampai-sampai benturan dasyat trotoar marmer dua tahun lalu tidak mampu mengoyak isi kepalanya. Tidak seperti aku.
Dua tahun lalu adalah masa-masa paling gila dalam hidupku. Momma dan Daddy baru saja berpisah. Aku memutuskan ikut Momma, karena Daddy orang tak bertanggungjawab yang minggat demi menikahi wanita berkepala gepeng dan berbadan sebulat semangka, tapi kayanya minta ampun.
Kejadian itu membuat Momma stres, dan Momma bilang ingin menonton pentas balet untuk menghilangkan stresnya. Momma dulu mantan penari balet, tapi pensiun setelah menikah dengan Daddy. Aku ikut nonton, dan di sanalah aku melihat si tutu merah menari. Dalam perjalanan pulang, aku terus memikirkannya. Terus, terus, terus, dan tiba-tiba mobil yang Momma kemudikan selip. Besi beroda itu oleng keluar jalur. Kacanya pecah, pintunya penyok, dan kepalaku sangat sakit hingga aku tak sadarkan diri. Begitu aku siuman, aku sudah tidak bisa bicara normal.
Aphasia[2] tidak bisa disembuhkan, Lucas! Berapa kali aku harus menegaskan kenyataan sialan ini padamu, hah?” Momma berteriak. Matanya basah, bibirnya gemetaran.
“dr. Garland… err…. Sendiri!” Aku berdiri, dan berderap meninggalkan ruang makan. Momma memanggilku dengan suara sangat keras, tapi aku tidak berhenti. Kakiku dengan cepat membawaku keluar dari rumah.
Malam ini udaranya sangat dingin. Pepohonan nyaris gundul membentuk siluet-siluet kerangka gelap di balik siraman sinar emas bulan penuh. Bintang-bintang bertaburan seperti ketombe di kulit kepala, gonggongan anjing membahana ke langit. Aku berdiri di bawah kanopi hitam halte bis. Orang-orang bermantel dan bersyal memandangiku seolah aku adalah sesosok alien yang baru saja kehabisan bahan bakar pesawatnya, dan terpaksa menumpang bis manusia. Gila. Seandainya aku masih bisa bicara normal, aku ingin melempar lelucon ini padamu, si tutu merah, setelah aku turun di tempat tujuanku.
Bis akhirnya datang juga. Aku masuk cepat-cepat, dan mencari-cari kursi kosong. Mataku melebar ketika menemukan sepasang mata safir di salah satu kursi bis.
“Lucas? Kebetulan kita bertemu di sini,” katamu, pemilik mata safir itu. Rambutmu dikuncir ke sisi kiri kepala, dan mantelmu merah cerah dengan bijih-bijih kancing hitam besar. Kau tampak lelah, tapi juga senang. Mungkin kau baru saja pulang dari suatu tempat yang tak lekas tidur—sekolah atau mall—dan kini sudah sangat dekat dengan rumah.
Aku meringis. “Malam. Yah, bagus.”
“Bukan ‘malam yah bagus’, tapi ‘selamat malam’,” kau mengoreksi.
Cengirku semakin lebar. Tanpa ragu aku duduk di sampingmu. “Rumah… pergikah?”
“Pulang ke rumah, ya. Aku baru selesai latihan di sanggar. Lelah sekali.” Kau memijit lehermu sendiri. “Kau?”
Aku terceguk. Mana mungkin aku bilang aku mau ke rumah dr. Garland agar aku bisa menemuimu. Kau putri dr. Garland, yang selalu membantu ayahmu dengan kegiatan memeriksa pasiennya, termasuk memeriksaku. Alasan utamaku menolak nasihat Momma untuk berhenti menemui dokter tua berhidung bengkok itu adalah karena aku tidak mau berhenti menemuimu. Hidupku tidak akan pernah sama lagi jika aku berhenti menemuimu, si tutu merah.
“dr. Garland,” kataku singkat. Kuharap kau tidak akan salah paham.
“Oh, aku mengerti. Apakah kau sudah buat janji dengan ayahku? Dia agak sibuk belakangan ini.”
Aku menggeleng. “Cepat-cepat. Ibuku… duh, berhenti.”
Kali ini kau terdiam. Bis melaju di jalanan, lampu-lampu di luar berlarian menyapa para penumpang. Aku merasakan sekujur tubuhku membeku dalam kebisuan. Walaupun aku tidak bisa lagi bicara senormal manusia biasa, aku tetap tidak suka kebisuan. Maka kubuka kembali pembicaraan,
“Willa.”
Kau memandangku. “Ya?”
“Sesuatu… takut, eh, dulu. Aku….” Sialan! Mengapa malah kalimat aneh itu yang keluar? Sepertinya otakku ikut-ikutan beku.
“Kau takut pada sesuatu?” tanyamu.
Tidak! Aku sudah tidak takut pada apa pun lagi! Aku hanya ingin bilang, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu. Sesuatu yang berasal dari hatiku.
“Apa yang membuatmu takut? Ceritakan padaku, jadi aku bisa memberimu solusi untuk mengatasinya.”
Willa, aku tidak….
Tunggu. Takut. Aku memang takut….
Aku takut mengatakan perasaan yang selama ini terpendam dalam liang hatiku….
Pun bila aku bisa mengatakannya, hanya deretan kata-kata aneh dan tak berhubungan yang akan keluar. Malang sekali aku si penderita aphasia.
“Katakan saja, Lucas,” katamu. Nada suaramu begitu lembut seperti air mengalir. Aku nyaris terenyuh dan tertidur di kursi bis saat itu juga! “Aku tahu benar kau tidak bisa merangkai kata dengan baik akibat penyakit itu, tapi aku bisa menggunakan perasaan untuk memaknai setiap kata yang keluar dari mulutmu. Itu yang selalu ayahku ajarkan.”
Kini aku benar-benar terenyuh. Kuputuskan, sudah tidak ada gunanya lagi memendam perasaan. Hanya perih dan kegundahan yang akan kudapat jika terus memendam perasaan. “Tutu merah…. Pikir. Hari, yah…. Setiap… malam. Duh, aku! Eh….”
“Kau memikirkan sebuah tutu merah setiap hari dan malam?” tebakmu.
Tepat sasaran!
Aku mengangguk. “Jurnal… pulpen. Lalu… jam… makan malam….”
“Kau… menulis jurnal sebelum jam makan malam?”
Aku mengangguk lagi. “Willa.”
“Willa? Namaku?”
“Willa. Tutu merah. Jurnal.”
Kau terdiam, seperti sedang berpikir. Apakah kau tidak mampu memahami ucapanku tadi? Si tutu merah dalam jurnalku adalah kau, Willa. Itulah yang ingin kukatakan. Sialnya, otak yang telah bergolak akibat benturan tengkorak dengan trotoar ini telah melakukan hal yang salah.
Aku memandangi wajah bulatmu dengan mata melebar, dan menahan debaran jantung yang begitu kencang dalam rongga dadaku. Bicaralah, Willa. Beritahu aku kau mengerti apa yang kukatakan. Jangan biarkan aku mati menunggu kata-katamu.
Tiba-tiba kau tersenyum. Mata biru besarmu berkeriapan tertimpa sinar lampu jalanan di luar sana. “Kau memikirkan tutu merahku sampai menuliskannya dalam jurnal sebelum makan malam?”
Dan aku tersenyum.
“Ya ampun, Lucas! Apakah kau sebegitu sukanya pada tutu merahku?” Kau tertawa terbahak-bahak. Aku tahu kau paham betul dengan makna ucapanku. Kau hanya tidak mau mengakuinya. Aku bisa melihatnya dari tatapan mata dan garis senyum pada bibirmu. Tidak apa, Willa. Suatu hari nanti kau tidak akan takut mengakuinya. Seperti aku sekarang ini. Aku sudah tidak takut lagi untuk mengaku padamu bahwa aku selalu memikirkanmu setiap hari dan malam, bahkan sampai menuliskannya dalam jurnal. Aku tidak mau dikekang oleh rasa takut lagi. Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Walaupun aku tidak bisa bicara normal, aku sudah tidak takut lagi.
Ah, rasanya lega sekali setelah mengakuinya. Kini aku bisa tertawa terbahak-bahak bersama Willa. Orang-orang dalam bis memelototi kami, mencibir dan memaki. Namun kami tidak peduli. Tawa keras kami memenuhi seisi ruang bis hingga halte berikutnya terlihat di kejauhan.




        Catatan:
         1. Pakaian yang dikenakan penari balet saat pentas.
     2. Penyakit yang memengaruhi speech production seseorang. Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan pada otak akibat benturan. Penderita masih mampu memahami perkataan orang lain, tapi tidak bisa berkata secara normal. Ada dua jenis Aphasia: Broca’s Aphasia dan Wernicke’s Aphasia. Dalam cerpen, Lucas menderita Broca’s Aphasia, sehingga tidak bisa memroses kata-kata menjadi kalimat yang padu dan kadang ragu-ragu.




Ikutan tantangan #KalimatPertama dari @KampusFiksi :D
Saya ambil 3 kalimat pertama dari novel Spring in London karya Ilana Tan :D

Sunday, May 11, 2014

Second Time








Tidak ada jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kalimat itu melekat dalam benak Jake, seperti sarang laba-laba lengket di sudut kamar. Dia mencoba menjadikan kalimat lengket itu sebagai patokan hidupnya, apalagi soal jatuh cinta. Menurutnya, hanya orang tak berhati jernih yang mampu jatuh cinta pada pandangan pertama. Coba pikir, bisakah kau jatuh cinta tanpa mendalami sifat asli seseorang?
Tetapi rasanya dia harus menendang jauh patokan hidupnya itu. Sosok gadis di hadapannya bagai malaikat dalam lukisan-lukisan karya seniman Italia. Wajah gadis itu tirus, rahangnya lembut seperti pinggiran mangkuk porselin. Matanya secokelat bijih kopi. Jake nyaris karam setiap kali memandang ke dalam mata itu. Rambut gadis itu pirang mentega, dan jatuh lembut di atas bahu sempitnya. Gadis itu berkostum hitam-hitam, bertopi runcing, dan membawa sapu lidi. Keranjang dari tiruan kuali hitam berada di tangan kirinya.
Jake jatuh cinta. Pada. Pandangan. Pertama.
Hal itu seharusnya menjelaskan detakan-detakan bagai tabuhan genderang dalam dadanya saat matanya jatuh pada sosok sang penyihir.
“Hai!” sapa Jake, kaku. Jerit tawa anak-anak bersusul-susulan di sekelilingnya. Mereka berseliweran tanpa lelah seakan mereka adalah gerombolan lebah pekerja. Salah satu dari mereka adalah Sean Cabot, anak tetangga sebelah rumah Jake yang masih berusia tujuh tahun.
“Hai.”
Jake tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia seorang tentara anti bioterorisme, berompi gembung, satu holster berisi pistol di paha kanan, dan satu holster lainnya di pinggang. Rambut hitamnya sengaja dicukur plontos demi penampilan maksimal sebagai seorang tentara. Wajahnya yang persegi ditekuk, bibir terkatup rapat. Terima kasih kepada ibunya yang menambahkan coreng lipstik merah di pelipisnya sehingga dia tampak seperti baru saja tertonjok, tapi tidak gegar otak.
“Kau tidak bawa keranjang permen,” kata gadis itu. “Bagaimana caramu membawa pulang permen dari orang-orang?”
Jake tertawa lirih. “Aku tidak mau permen. Aku sudah besar. Cukup merayakan Halloween dengan berkostum tentara dan menakut-nakuti setiap anak kecil berkostum zombie, aku sudah cukup puas.”
Gadis itu tersenyum mengerti. “Mau cari permen bersamaku? Aku sudah besar, tapi aku masih suka permen. Seharusnya ditemani tentara….”
“Anti bioterorisme,” sambung Jake.
“Ya, ditemani tentara anti bioterorisme bisa melipatgandakan jumlah permen yang kudapat,” lanjut si gadis. “Kau tidak keberatan?”
Jake mengedikan bahu. “Tentu tidak.”
Keduanya mulai melangkah ke rumah terdekat. Rumah itu berpagar besi hitam dengan labu-labu berukir wajah setan. Lampion-lampion menempel di atas pelat nomor rumah. Jake menekan bel, dan menunggu.
“Omong-omong, namaku Heather,” sahut gadis berkostum penyihir itu.
Jake agak terlonjak kaget. “Jake.”
“Kau tinggal di sekitaran sini?” tanya Heather. “Aku baru pindah dua hari lalu, dan kupikir bergabung dalam pesta Halloween perumahan bisa membuatku mengenal lebih banyak tetangga.”
“Aku tinggal di sekitaran sini.” Jake merasa gamang. “Rumah keluarga Monday.”
“Monday,” Heather memberi dirinya jeda sejenak, “belum pernah dengar.”
“Di seberang rumah Nenek Gilda. Kau pasti tahu dia. Semua orang di perumahan tahu dia dan kecintaannya pada kucing.
“Rumah tinggi dengan cat putih dan pohon willow raksasa?”
“Ya, benar. Walaupun semua orang tahu Nenek Gilda, dia tidak tahu semua orang. Katanya, sih, dia sudah pikun. Bahkan nama tetangga di seberangnya saja dia tidak tahu.”
“Nenek Gilda itu nenekku.”
Pintu rumah terbuka. Seorang wanita berkostum kelinci menyambut dengan meriah. “Trick or treat!”
Trick or treat, Mrs. Parker,” balas Jake malas.
“Duh, kupikir anak-anak manis yang akan datang. Ternyata remaja-remaja tengil.” Mrs. Parker menjatuhkan beberapa permen ke keranjang kuali Heather. Jake meminta permen jatahnya dimasukkan ke keranjang Heather juga. Setelah berterimakasih, keduanya beringsut ke rumah lainnya.
“Kuharap kita bisa saling mengenal lebih jauh,” buka Jake, sambil menunggu pemilik rumah membukakan pintu untuknya dan Heather. “Kita tetangga seberang rumah, soalnya.”
Heather tersenyum. “Aku juga berharap begitu.”
Dari senyum Heather, Jake tidak ragu lagi bahwa dia sudah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini pertemuan mereka yang pertama, dan jatuh cinta itu rasanya sedikit mengerikan. Ada berbagai prasangka menyelinapi benaknya. Jake enggan memikirkannya. Dia hanya ingin menikmati sensasi jatuh cinta pada pandangan pertama ini.


***


Jake jatuh cinta pada pandangan pertama lagi.
Kali ini pada seorang gadis di sekolahnya, setahun setelah hari Halloween itu. Gadis itu bersenyum secerah mentari dan sangat cantik, lebih cantik dari Heather si tetangga seberang rumah—hubungan Jake dan Heather berakhir sebagai tetangga, dan Jake menyatakan dia sudah tidak mau ingat pernah jatuh cinta pada senyum Heather. Dengan nekat, dia mendekati gadis incarannya.
Gadis itu memandangnya merendahkan. “Mau apa kau, Orang Aneh?”
Perih menyulut jantung Jake. “Sepertinya kita sekelas di kelas bahasa Spanyol.”
Si gadis mengibaskan rambut oranye wortelnya, dan melenggang pergi. “Entahlah. Tapi yang jelas, kau bukan tipeku.”
Sekali lagi jantung Jake tersulut perih. Seketika rasa jatuh cinta pada pandangan pertama itu kandas sudah.
Sepertinya memang tidak ada istilah jatuh cinta pada pandangan pertama. Semua itu omong kosong. Jatuh cinta pada senyum. Ya, itulah yang telah menyerang Jake dua kali setahun belakangan ini. Dia hanya terpikat pada senyum gadis-gadis, tapi dia tidak pernah tahu sisi dalam mereka. Mungkin jika dia mengenal lebih jauh dua gadis itu, dia bisa jatuh cinta untuk kedua kalinya pada salah satu dari mereka.
Namun istilah jatuh cinta untuk kedua kalinya belum pernah tersemat dalam benak Jake.


***


Halloween datang lagi.
Heather datang ke rumah Jake sorenya. Gadis itu berkostum tentara anti bioterorisme, seperti kostum Jake tahun lalu. Jake sudah berjanji padanya akan menemaninya berburu permen.
“Aku sudah bawa dua keranjang,” Heather memamerkan dua keranjang berbentuk hard hat hitam. “Kau bawa satu, aku bawa satu. Kita berdua harus dapat permen sendiri-sendiri.”
“Aku tidak suka permen, Heather,” sanggah Jake. Tahun ini dia berkostum zombie—kemeja compang-camping, celana panjang robek di ujungnya, dan banyak coreng-moreng lipstik merah di wajah.
“Yang jelas, kau harus bawa permen.” Heather menyerahkan satu keranjang pada Jake.
Jake mendesah kalah. “Baiklah.”
Acara berburu permen malam Halloween itu berjalan sempurna, walau keletihan menyergap. Heather berhasil memenuhi keranjangnya, keranjang Jake setengah penuh. Seluruh perumahan telah habis mereka todongi permen. Pastinya wajah mereka kini sudah dikenal sebagai pemburu permen seperumahan.
“Banyak permen!” Heather terkikik-kikik sambil menimbang keranjangnya.
“Akan kita apakan semua permen ini?”
Heather memandangnya. Mata cokelat kopi itu mengirimkan perasaan ‘jatuh cinta’ pada hati Jake. “Kita bagikan kepada anak-anak yang tidak dapat permen. Ada banyak anak-anak seperti itu—lihat! Bukankah itu Sean?”
Jake menyusuri arah tudingan Heather. Benar saja. Di sana, di trotoar, Sean Cabot yang berkostum drakula berjongkok. Keranjang permen berbentuk setengah labu miliknya terkulai lemah di trotoar. Jake dan Heather buru-buru menghampirinya.
Heather bersimpuh di samping si anak. “Sayang, ada apa?”
Sean tersengguk-sengguk. “Anak-anak itu mencuri permenku! Semua yang sudah kukumpulkan dicuri!”
Heather memandang Jake. Jake tidak tahu apa makna pandangan itu.
Gadis itu memungut keranjang kosong Sean, dan menumpahkan seluruh permen dalam keranjangnya sendiri ke sana. “Jangan menangis, Sayang. Kau bisa ambil semua permenku.”
Sean memandangnya. Matanya biru bulat, besar sekali. “Sungguh?”
Heather tersenyum. “Tentu, Sayang. Sekarang lebih baik kau pulang, sebelum mereka mencuri permenmu lagi.”
Sean berdiri bersama keranjang penuh permennya. “Terima kasih, Heather! Aku akan pulang sekarang! Dah!” Dan dia berlari terseok-seok keberatan keranjang ke arah rumahnya.
Detak-detak jantung Jake menandakan dia kembali jatuh cinta. Heather memang menarik. Bukan hanya senyumnya, tapi juga di dalamnya. Dia rela memberikan seluruh permen, yang telah dia kumpulkan dengan susah payah, kepada anak kecil itu. Bahkan Jake mungkin tidak rela memberikan permennya, meski dia tidak suka permen.
“Nah, Jake!” seru Heather, gembira. “Ayo pulang!”
“Ya. Ayo!”
Jatuh cinta untuk kedua kalinya. Ini dia! Jake jatuh cinta lagi kepada Heather! Pertama pada senyumnya, kedua pada hatinya. Kini dada Jake lega. Jatuh cinta pada senyum saja memang agak berisiko. Namun yang terpenting, sekarang dia mencintai hati Heather, bukan hanya senyumnya.


Bunga heather




Ikutan tantangan #CintaDuaCara dari @KampusFiksi :D
Word count: 1221