Ada
sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai sekarang aku belum
mengatakannya karena… yah, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah
karena aku takut.
Aku
masih ingat saat pertama kita bertemu. Kau menari di panggung, dengan tutu[1] merah berhias bulu-bulu angsa
putih di pinggang. Rambut hitam selembut jaring laba-laba digelung ke puncak
kepalamu. Kakimu jenjang, menyentuh lantai panggung dalam balutan sepatu pointe semerah tutu-mu.
“Lucas,
makan malam sudah siap!”
Menutup
jurnal harianku, aku beranjak dari kursi putar. Tidak bisa kubayangkan satu
hari tanpa mencurahkan isi hatiku pada lembar-lembar kertas. Setiap hari yang
selalu penuh dengan ingatan tentangmu. Kau dan tutu merahmu.
“Kenapa
lama sekali?” tanya ibuku, yang kupanggil dengan sebutan Momma.
Aku
memipihkan satu tangan selayaknya sehelai kertas, sedangkan satu tangan lainnya
bergerak-gerak seolah sedang memegang alat tulis.
Momma
mengangguk. “Yah, aku mengerti. Cepat makan. Jangan kebanyakan melamun.”
Aku
mengangguk saja. Menu makan malam hari ini adalah steik berlumur saus lada
hitam dan kentang goreng. Kami duduk di kursi masing-masing, melahap makan
malam dalam hening.
“Mungkin
kau bisa berhenti menemui dr. Garland,” ucap Momma, memecah keheningan beberapa
menit kemudian.
Aku
menggeleng. “dr. Garland… umm, sembuh. Sekali.”
“Tidak,
dia tidak bisa menyembuhkanmu, Lucas. Sudah berbulan-bulan dia memeriksamu,
memberimu ratusan resep obat, bahkan merencanakan terapi-terapi tak masuk akal
seperti hydro… apalah itu! Tapi lihat
hasilnya! Tidak ada yang berubah!”
“Sembuh.
Err… sekali. Momma….”
Momma
membanting garpu dan pisaunya di atas piring. “Lucas, aku tahu ini salahku.
Tapi, kumohon, sekali saja dengarkan kata-kataku!”
Kalimat
Momma sukses membuat jantungku serasa menggelinding ke lantai ruang makan. Aku
mencoba cuek, menusuki steik dengan garpu dan memilah potongan kentang goreng.
Momma punya kepala sangat keras. Begitu keras sampai-sampai benturan dasyat trotoar
marmer dua tahun lalu tidak mampu mengoyak isi kepalanya. Tidak seperti aku.
Dua
tahun lalu adalah masa-masa paling gila dalam hidupku. Momma dan Daddy baru
saja berpisah. Aku memutuskan ikut Momma, karena Daddy orang tak
bertanggungjawab yang minggat demi menikahi wanita berkepala gepeng dan
berbadan sebulat semangka, tapi kayanya minta ampun.
Kejadian
itu membuat Momma stres, dan Momma bilang ingin menonton pentas balet untuk menghilangkan
stresnya. Momma dulu mantan penari balet, tapi pensiun setelah menikah dengan
Daddy. Aku ikut nonton, dan di sanalah aku melihat si tutu merah menari. Dalam perjalanan pulang, aku terus
memikirkannya. Terus, terus, terus, dan tiba-tiba mobil yang Momma kemudikan
selip. Besi beroda itu oleng keluar jalur. Kacanya pecah, pintunya penyok, dan
kepalaku sangat sakit hingga aku tak sadarkan diri. Begitu aku siuman, aku
sudah tidak bisa bicara normal.
“Aphasia[2] tidak bisa disembuhkan,
Lucas! Berapa kali aku harus menegaskan kenyataan sialan ini padamu, hah?”
Momma berteriak. Matanya basah, bibirnya gemetaran.
“dr.
Garland… err…. Sendiri!” Aku berdiri, dan berderap meninggalkan ruang makan.
Momma memanggilku dengan suara sangat keras, tapi aku tidak berhenti. Kakiku
dengan cepat membawaku keluar dari rumah.
Malam
ini udaranya sangat dingin. Pepohonan nyaris gundul membentuk siluet-siluet
kerangka gelap di balik siraman sinar emas bulan penuh. Bintang-bintang
bertaburan seperti ketombe di kulit kepala, gonggongan anjing membahana ke
langit. Aku berdiri di bawah kanopi hitam halte bis. Orang-orang bermantel dan
bersyal memandangiku seolah aku adalah sesosok alien yang baru saja kehabisan
bahan bakar pesawatnya, dan terpaksa menumpang bis manusia. Gila. Seandainya
aku masih bisa bicara normal, aku ingin melempar lelucon ini padamu, si tutu merah, setelah aku turun di
tempat tujuanku.
Bis
akhirnya datang juga. Aku masuk cepat-cepat, dan mencari-cari kursi kosong.
Mataku melebar ketika menemukan sepasang mata safir di salah satu kursi bis.
“Lucas?
Kebetulan kita bertemu di sini,” katamu, pemilik mata safir itu. Rambutmu
dikuncir ke sisi kiri kepala, dan mantelmu merah cerah dengan bijih-bijih
kancing hitam besar. Kau tampak lelah, tapi juga senang. Mungkin kau baru saja
pulang dari suatu tempat yang tak lekas tidur—sekolah atau mall—dan kini sudah sangat dekat dengan rumah.
Aku
meringis. “Malam. Yah, bagus.”
“Bukan
‘malam yah bagus’, tapi ‘selamat malam’,” kau mengoreksi.
Cengirku
semakin lebar. Tanpa ragu aku duduk di sampingmu. “Rumah… pergikah?”
“Pulang
ke rumah, ya. Aku baru selesai latihan di sanggar. Lelah sekali.” Kau memijit
lehermu sendiri. “Kau?”
Aku
terceguk. Mana mungkin aku bilang aku mau ke rumah dr. Garland agar aku bisa
menemuimu. Kau putri dr. Garland, yang selalu membantu ayahmu dengan kegiatan memeriksa
pasiennya, termasuk memeriksaku. Alasan utamaku menolak nasihat Momma untuk
berhenti menemui dokter tua berhidung bengkok itu adalah karena aku tidak mau
berhenti menemuimu. Hidupku tidak akan pernah sama lagi jika aku berhenti
menemuimu, si tutu merah.
“dr.
Garland,” kataku singkat. Kuharap kau tidak akan salah paham.
“Oh,
aku mengerti. Apakah kau sudah buat janji dengan ayahku? Dia agak sibuk
belakangan ini.”
Aku
menggeleng. “Cepat-cepat. Ibuku… duh, berhenti.”
Kali
ini kau terdiam. Bis melaju di jalanan, lampu-lampu di luar berlarian menyapa
para penumpang. Aku merasakan sekujur tubuhku membeku dalam kebisuan. Walaupun
aku tidak bisa lagi bicara senormal manusia biasa, aku tetap tidak suka
kebisuan. Maka kubuka kembali pembicaraan,
“Willa.”
Kau
memandangku. “Ya?”
“Sesuatu…
takut, eh, dulu. Aku….” Sialan! Mengapa malah kalimat aneh itu yang keluar?
Sepertinya otakku ikut-ikutan beku.
“Kau
takut pada sesuatu?” tanyamu.
Tidak!
Aku sudah tidak takut pada apa pun lagi! Aku hanya ingin bilang, ada sesuatu
yang ingin kukatakan kepadamu. Sesuatu yang berasal dari hatiku.
“Apa
yang membuatmu takut? Ceritakan padaku, jadi aku bisa memberimu solusi untuk
mengatasinya.”
Willa,
aku tidak….
Tunggu.
Takut. Aku memang takut….
Aku
takut mengatakan perasaan yang selama ini terpendam dalam liang hatiku….
Pun
bila aku bisa mengatakannya, hanya deretan kata-kata aneh dan tak berhubungan
yang akan keluar. Malang sekali aku si penderita aphasia.
“Katakan
saja, Lucas,” katamu. Nada suaramu begitu lembut seperti air mengalir. Aku
nyaris terenyuh dan tertidur di kursi bis saat itu juga! “Aku tahu benar kau
tidak bisa merangkai kata dengan baik akibat penyakit itu, tapi aku bisa
menggunakan perasaan untuk memaknai setiap kata yang keluar dari mulutmu. Itu
yang selalu ayahku ajarkan.”
Kini
aku benar-benar terenyuh. Kuputuskan, sudah tidak ada gunanya lagi memendam
perasaan. Hanya perih dan kegundahan yang akan kudapat jika terus memendam
perasaan. “Tutu merah…. Pikir. Hari,
yah…. Setiap… malam. Duh, aku! Eh….”
“Kau
memikirkan sebuah tutu merah setiap
hari dan malam?” tebakmu.
Tepat
sasaran!
Aku
mengangguk. “Jurnal… pulpen. Lalu… jam… makan malam….”
“Kau…
menulis jurnal sebelum jam makan malam?”
Aku
mengangguk lagi. “Willa.”
“Willa?
Namaku?”
“Willa.
Tutu merah. Jurnal.”
Kau
terdiam, seperti sedang berpikir. Apakah kau tidak mampu memahami ucapanku
tadi? Si tutu merah dalam jurnalku adalah
kau, Willa. Itulah yang ingin kukatakan. Sialnya, otak yang telah bergolak
akibat benturan tengkorak dengan trotoar ini telah melakukan hal yang salah.
Aku
memandangi wajah bulatmu dengan mata melebar, dan menahan debaran jantung yang
begitu kencang dalam rongga dadaku. Bicaralah, Willa. Beritahu aku kau mengerti
apa yang kukatakan. Jangan biarkan aku mati menunggu kata-katamu.
Tiba-tiba
kau tersenyum. Mata biru besarmu berkeriapan tertimpa sinar lampu jalanan di
luar sana. “Kau memikirkan tutu
merahku sampai menuliskannya dalam jurnal sebelum makan malam?”
Dan
aku tersenyum.
“Ya
ampun, Lucas! Apakah kau sebegitu sukanya pada tutu merahku?” Kau tertawa terbahak-bahak. Aku tahu kau paham betul
dengan makna ucapanku. Kau hanya tidak mau mengakuinya. Aku bisa melihatnya
dari tatapan mata dan garis senyum pada bibirmu. Tidak apa, Willa. Suatu hari
nanti kau tidak akan takut mengakuinya. Seperti aku sekarang ini. Aku sudah
tidak takut lagi untuk mengaku padamu bahwa aku selalu memikirkanmu setiap hari
dan malam, bahkan sampai menuliskannya dalam jurnal. Aku tidak mau dikekang
oleh rasa takut lagi. Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Walaupun aku tidak
bisa bicara normal, aku sudah tidak takut lagi.
Ah,
rasanya lega sekali setelah mengakuinya. Kini aku bisa tertawa terbahak-bahak
bersama Willa. Orang-orang dalam bis memelototi kami, mencibir dan memaki.
Namun kami tidak peduli. Tawa keras kami memenuhi seisi ruang bis hingga halte
berikutnya terlihat di kejauhan.
Catatan:
1. Pakaian
yang dikenakan penari balet saat pentas.
2. Penyakit
yang memengaruhi speech production
seseorang. Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan pada otak akibat benturan. Penderita
masih mampu memahami perkataan orang lain, tapi tidak bisa berkata secara
normal. Ada dua jenis Aphasia: Broca’s Aphasia dan Wernicke’s Aphasia. Dalam
cerpen, Lucas menderita Broca’s Aphasia, sehingga tidak bisa memroses kata-kata
menjadi kalimat yang padu dan kadang ragu-ragu.
Ikutan
tantangan #KalimatPertama dari @KampusFiksi :D
Saya
ambil 3 kalimat pertama dari novel Spring in London karya Ilana Tan :D
No comments:
Post a Comment