Pages

Sunday, May 18, 2014

Tutu Merah





Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu. Sampai sekarang aku belum mengatakannya karena… yah, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah karena aku takut.
Aku masih ingat saat pertama kita bertemu. Kau menari di panggung, dengan tutu[1] merah berhias bulu-bulu angsa putih di pinggang. Rambut hitam selembut jaring laba-laba digelung ke puncak kepalamu. Kakimu jenjang, menyentuh lantai panggung dalam balutan sepatu pointe semerah tutu-mu.
“Lucas, makan malam sudah siap!”
Menutup jurnal harianku, aku beranjak dari kursi putar. Tidak bisa kubayangkan satu hari tanpa mencurahkan isi hatiku pada lembar-lembar kertas. Setiap hari yang selalu penuh dengan ingatan tentangmu. Kau dan tutu merahmu.
“Kenapa lama sekali?” tanya ibuku, yang kupanggil dengan sebutan Momma.
Aku memipihkan satu tangan selayaknya sehelai kertas, sedangkan satu tangan lainnya bergerak-gerak seolah sedang memegang alat tulis.
Momma mengangguk. “Yah, aku mengerti. Cepat makan. Jangan kebanyakan melamun.”
Aku mengangguk saja. Menu makan malam hari ini adalah steik berlumur saus lada hitam dan kentang goreng. Kami duduk di kursi masing-masing, melahap makan malam dalam hening.
“Mungkin kau bisa berhenti menemui dr. Garland,” ucap Momma, memecah keheningan beberapa menit kemudian.
Aku menggeleng. “dr. Garland… umm, sembuh. Sekali.”
“Tidak, dia tidak bisa menyembuhkanmu, Lucas. Sudah berbulan-bulan dia memeriksamu, memberimu ratusan resep obat, bahkan merencanakan terapi-terapi tak masuk akal seperti hydro… apalah itu! Tapi lihat hasilnya! Tidak ada yang berubah!”
“Sembuh. Err… sekali. Momma….”
Momma membanting garpu dan pisaunya di atas piring. “Lucas, aku tahu ini salahku. Tapi, kumohon, sekali saja dengarkan kata-kataku!”
Kalimat Momma sukses membuat jantungku serasa menggelinding ke lantai ruang makan. Aku mencoba cuek, menusuki steik dengan garpu dan memilah potongan kentang goreng. Momma punya kepala sangat keras. Begitu keras sampai-sampai benturan dasyat trotoar marmer dua tahun lalu tidak mampu mengoyak isi kepalanya. Tidak seperti aku.
Dua tahun lalu adalah masa-masa paling gila dalam hidupku. Momma dan Daddy baru saja berpisah. Aku memutuskan ikut Momma, karena Daddy orang tak bertanggungjawab yang minggat demi menikahi wanita berkepala gepeng dan berbadan sebulat semangka, tapi kayanya minta ampun.
Kejadian itu membuat Momma stres, dan Momma bilang ingin menonton pentas balet untuk menghilangkan stresnya. Momma dulu mantan penari balet, tapi pensiun setelah menikah dengan Daddy. Aku ikut nonton, dan di sanalah aku melihat si tutu merah menari. Dalam perjalanan pulang, aku terus memikirkannya. Terus, terus, terus, dan tiba-tiba mobil yang Momma kemudikan selip. Besi beroda itu oleng keluar jalur. Kacanya pecah, pintunya penyok, dan kepalaku sangat sakit hingga aku tak sadarkan diri. Begitu aku siuman, aku sudah tidak bisa bicara normal.
Aphasia[2] tidak bisa disembuhkan, Lucas! Berapa kali aku harus menegaskan kenyataan sialan ini padamu, hah?” Momma berteriak. Matanya basah, bibirnya gemetaran.
“dr. Garland… err…. Sendiri!” Aku berdiri, dan berderap meninggalkan ruang makan. Momma memanggilku dengan suara sangat keras, tapi aku tidak berhenti. Kakiku dengan cepat membawaku keluar dari rumah.
Malam ini udaranya sangat dingin. Pepohonan nyaris gundul membentuk siluet-siluet kerangka gelap di balik siraman sinar emas bulan penuh. Bintang-bintang bertaburan seperti ketombe di kulit kepala, gonggongan anjing membahana ke langit. Aku berdiri di bawah kanopi hitam halte bis. Orang-orang bermantel dan bersyal memandangiku seolah aku adalah sesosok alien yang baru saja kehabisan bahan bakar pesawatnya, dan terpaksa menumpang bis manusia. Gila. Seandainya aku masih bisa bicara normal, aku ingin melempar lelucon ini padamu, si tutu merah, setelah aku turun di tempat tujuanku.
Bis akhirnya datang juga. Aku masuk cepat-cepat, dan mencari-cari kursi kosong. Mataku melebar ketika menemukan sepasang mata safir di salah satu kursi bis.
“Lucas? Kebetulan kita bertemu di sini,” katamu, pemilik mata safir itu. Rambutmu dikuncir ke sisi kiri kepala, dan mantelmu merah cerah dengan bijih-bijih kancing hitam besar. Kau tampak lelah, tapi juga senang. Mungkin kau baru saja pulang dari suatu tempat yang tak lekas tidur—sekolah atau mall—dan kini sudah sangat dekat dengan rumah.
Aku meringis. “Malam. Yah, bagus.”
“Bukan ‘malam yah bagus’, tapi ‘selamat malam’,” kau mengoreksi.
Cengirku semakin lebar. Tanpa ragu aku duduk di sampingmu. “Rumah… pergikah?”
“Pulang ke rumah, ya. Aku baru selesai latihan di sanggar. Lelah sekali.” Kau memijit lehermu sendiri. “Kau?”
Aku terceguk. Mana mungkin aku bilang aku mau ke rumah dr. Garland agar aku bisa menemuimu. Kau putri dr. Garland, yang selalu membantu ayahmu dengan kegiatan memeriksa pasiennya, termasuk memeriksaku. Alasan utamaku menolak nasihat Momma untuk berhenti menemui dokter tua berhidung bengkok itu adalah karena aku tidak mau berhenti menemuimu. Hidupku tidak akan pernah sama lagi jika aku berhenti menemuimu, si tutu merah.
“dr. Garland,” kataku singkat. Kuharap kau tidak akan salah paham.
“Oh, aku mengerti. Apakah kau sudah buat janji dengan ayahku? Dia agak sibuk belakangan ini.”
Aku menggeleng. “Cepat-cepat. Ibuku… duh, berhenti.”
Kali ini kau terdiam. Bis melaju di jalanan, lampu-lampu di luar berlarian menyapa para penumpang. Aku merasakan sekujur tubuhku membeku dalam kebisuan. Walaupun aku tidak bisa lagi bicara senormal manusia biasa, aku tetap tidak suka kebisuan. Maka kubuka kembali pembicaraan,
“Willa.”
Kau memandangku. “Ya?”
“Sesuatu… takut, eh, dulu. Aku….” Sialan! Mengapa malah kalimat aneh itu yang keluar? Sepertinya otakku ikut-ikutan beku.
“Kau takut pada sesuatu?” tanyamu.
Tidak! Aku sudah tidak takut pada apa pun lagi! Aku hanya ingin bilang, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu. Sesuatu yang berasal dari hatiku.
“Apa yang membuatmu takut? Ceritakan padaku, jadi aku bisa memberimu solusi untuk mengatasinya.”
Willa, aku tidak….
Tunggu. Takut. Aku memang takut….
Aku takut mengatakan perasaan yang selama ini terpendam dalam liang hatiku….
Pun bila aku bisa mengatakannya, hanya deretan kata-kata aneh dan tak berhubungan yang akan keluar. Malang sekali aku si penderita aphasia.
“Katakan saja, Lucas,” katamu. Nada suaramu begitu lembut seperti air mengalir. Aku nyaris terenyuh dan tertidur di kursi bis saat itu juga! “Aku tahu benar kau tidak bisa merangkai kata dengan baik akibat penyakit itu, tapi aku bisa menggunakan perasaan untuk memaknai setiap kata yang keluar dari mulutmu. Itu yang selalu ayahku ajarkan.”
Kini aku benar-benar terenyuh. Kuputuskan, sudah tidak ada gunanya lagi memendam perasaan. Hanya perih dan kegundahan yang akan kudapat jika terus memendam perasaan. “Tutu merah…. Pikir. Hari, yah…. Setiap… malam. Duh, aku! Eh….”
“Kau memikirkan sebuah tutu merah setiap hari dan malam?” tebakmu.
Tepat sasaran!
Aku mengangguk. “Jurnal… pulpen. Lalu… jam… makan malam….”
“Kau… menulis jurnal sebelum jam makan malam?”
Aku mengangguk lagi. “Willa.”
“Willa? Namaku?”
“Willa. Tutu merah. Jurnal.”
Kau terdiam, seperti sedang berpikir. Apakah kau tidak mampu memahami ucapanku tadi? Si tutu merah dalam jurnalku adalah kau, Willa. Itulah yang ingin kukatakan. Sialnya, otak yang telah bergolak akibat benturan tengkorak dengan trotoar ini telah melakukan hal yang salah.
Aku memandangi wajah bulatmu dengan mata melebar, dan menahan debaran jantung yang begitu kencang dalam rongga dadaku. Bicaralah, Willa. Beritahu aku kau mengerti apa yang kukatakan. Jangan biarkan aku mati menunggu kata-katamu.
Tiba-tiba kau tersenyum. Mata biru besarmu berkeriapan tertimpa sinar lampu jalanan di luar sana. “Kau memikirkan tutu merahku sampai menuliskannya dalam jurnal sebelum makan malam?”
Dan aku tersenyum.
“Ya ampun, Lucas! Apakah kau sebegitu sukanya pada tutu merahku?” Kau tertawa terbahak-bahak. Aku tahu kau paham betul dengan makna ucapanku. Kau hanya tidak mau mengakuinya. Aku bisa melihatnya dari tatapan mata dan garis senyum pada bibirmu. Tidak apa, Willa. Suatu hari nanti kau tidak akan takut mengakuinya. Seperti aku sekarang ini. Aku sudah tidak takut lagi untuk mengaku padamu bahwa aku selalu memikirkanmu setiap hari dan malam, bahkan sampai menuliskannya dalam jurnal. Aku tidak mau dikekang oleh rasa takut lagi. Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Walaupun aku tidak bisa bicara normal, aku sudah tidak takut lagi.
Ah, rasanya lega sekali setelah mengakuinya. Kini aku bisa tertawa terbahak-bahak bersama Willa. Orang-orang dalam bis memelototi kami, mencibir dan memaki. Namun kami tidak peduli. Tawa keras kami memenuhi seisi ruang bis hingga halte berikutnya terlihat di kejauhan.




        Catatan:
         1. Pakaian yang dikenakan penari balet saat pentas.
     2. Penyakit yang memengaruhi speech production seseorang. Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan pada otak akibat benturan. Penderita masih mampu memahami perkataan orang lain, tapi tidak bisa berkata secara normal. Ada dua jenis Aphasia: Broca’s Aphasia dan Wernicke’s Aphasia. Dalam cerpen, Lucas menderita Broca’s Aphasia, sehingga tidak bisa memroses kata-kata menjadi kalimat yang padu dan kadang ragu-ragu.




Ikutan tantangan #KalimatPertama dari @KampusFiksi :D
Saya ambil 3 kalimat pertama dari novel Spring in London karya Ilana Tan :D

No comments:

Post a Comment