Pages

Sunday, June 22, 2014

Sihir Lola




“Alex, kau mau tidur sampai kapan? Sampai matahari berkembangbiak?!”
Alex mendelik dan bangkit dari tempat tidurnya cepat-cepat. Kedua kakinya berayun turun. Di lantai, selop merah jambu dengan kepala beruang menyembul di ujungnya siap menerima kakinya. Wah, Alex tidak ingat dia punya selop boneka.
Dia melangkah malas ke kamar mandi. Cermin memantulkan wajah seorang gadis bermata biru bulat dan rambut cokelat berpotongan bob sepanjang dagu. Dia manis, apalagi ketika sedang menunjukkan deretan giginya yang besar-besar dan tidak rata. Ada lesung pipit di sisi kanan mulut mungilnya.
Lantas Alex sadar dia sedang memandang cermin. Lantas dia sadar, itu pantulan dirinya sendiri. Seorang gadis manis berlesung pipit. Wah, bukankah Alex….
“Mammy!!”
Mammy berdebum masuk ke kamar mandi. Dia memandang anaknya dengan mata melebar sempurna. “Ada apa, Alex? Ada tikus? Kecoa? Buaya di lubang kloset?”
Kedua lutut Alex berguncang. Dia mundur sejurus, menuding cermin seolah sedang menuding setan. “Itu… itu…. Demi Tuhan, apa itu aku?”
Mammy memandang cermin. “Ya, itu kau, Alexia sayang. Apa anehnya?”
“Itu perempuan! Aku kan laki-laki!”



***



“Nah, Alexia… err, maksudku, Alexander, kita mulai dengan pertanyaan sederhana.”
Alex memerhatikan kakinya. Gila. Dia mengenakan sandal kuning dengan bunga matahari besar di ujungnya. Kenapa pula dia mau mengenakan summer dress selutut berwarna kuning cerah dengan motif bunga-bunga, dipadu dengan kardigan rajut merah? Dia merasa benar-benar sudah menjadi perempuan! Maksudnya, dia ini laki-laki!
“Kapan Anda menyadari… err, keanehan ini?” tanya dokter psikolog itu—lelaki tua berhidung bengkok, berkacamata sebesar lingkar cangkir kopi, dan bersenjata pulpen dan buku tulis.
“Pagi ini,” jawab Alex. “Aku bangun tidur, dan mendadak aku jadi perempuan.”
“Jadi Anda ingat Anda aslinya laki-laki?” tanya sang dokter.
“Aku laki-laki sejak dilahirkan. Maksudku, coba saja tanyakan pada orangtua dan teman-temanku.”
Sang dokter mencatat. “Ini sungguh…. Bagaimana mengatakannya, ya? Ini aneh. Anda tidak punya riwayat penyakit… jiwa?”
Alex tidak menjawab.
Dokter berdeham. “Maaf, lupakan saja pertanyaan itu. Masuk ke bagian selanjutnya, apakah Anda ingat melakukan sesuatu kemarin?”
Alex mengingat-ingat. Kemarin Jumat, pelajaran olahraga di sekolah diajar oleh Ms. Rita. Dia main sepak bola dengan cowok-cowok beringas, tersungkur saat berusaha menggocek bola, siku dan lututnya lecet. Mr. Rita meminta salah satu murid cewek mengantarnya ke UKS, dan cewek itu adalah Lola.
“Aku ke UKS bersama Lola.”
“Itu saja?” tanya dokter, menurunkan kacamatanya hingga ke ujung hidung.
“Ya, itu saja…. Kurasa.”
Lola seorang penyihir. Begitu yang dikatakan semua murid. Dia bisa mengubah cangkir jadi kodok, kodok jadi buku, buku jadi kursi, dan akhirnya kursi jadi sesosok makhluk pendek berhidung besar dengan bisul-bisul kemerahan di permukaannya. Gosip.
“Lola seorang penyihir,” kata Alex.
Dokter mencatat dengan serius. “Anda pergi ke UKS bersama seorang penyihir bernama Lola. Menarik. Apakah menurut Anda, penyihir itu yang mengubah jenis kelamin Anda?”
Alex terdiam. Kepalanya kembali terisi penuh dengan ingatan tentang kemarin.
Lola mengantarnya ke UKS. Kalau saja tidak ada gosip mengenai Lola itu penyihir, dia bisa saja jadi cewek populer di sekolah. Gadis itu cukup manis dengan mata cokelat sebesar jeruknya, dan rambut hitam bergelombang sepanjang pinggul. Andai dia juga mau berkumpul dengan orang lain, mengobrol, dan berteman, dia pasti akan semakin populer.
Di UKS itu, Lola mengambilkan obat lecet untuk Alex. Gadis itu menungguinya selama beberapa detik, kemudian beranjak ke pintu UKS.
“Trims!” Alex berseru kepadanya.
Lola hanya mengangguk.
“Kau harus lebih sering bersosialisasi,” kata Alex.
Kali ini Lola tidak mengangguk. Dia keluar dari UKS dan membanting pintu di belakang punggungnya.
“Yah, mungkin Lola marah padaku,” kata Alex kepada dokter. “Katanya dia itu penyihir.”
“Mengejek penyihir, lantas disihir.” Dokter mencatat.
“Jadi bagaimana?”
“Saya sarankan Anda pergi menemui Lola si penyihir ini. Saya yakin dialah satu-satunya yang bisa menyembuhkan Anda.”
Alex tidak tahu mengapa dia mau menghamburkan uang untuk dokter tak ahli yang mengaku ahli ini.


***


Rumah Lola terletak di pinggiran kota. Rumah itu menguarkan hawa suram mencekik dari setiap sudutnya. Halamannya gersang, cat putih dinding rumah telah ternoda kuning tanda usia, dan gentingnya dihinggapi gagak-gagak.
Alex menekan bel rumah itu. Sejenak berlalu, pintu dibuka oleh si gadis bermata jeruk.
“Hai,” sapa Alex.
Lola menutup pintu cepat-cepat.
Menggedor pintu, Alex berteriak, “Lola, buka pintunya! Ada yang ingin kutanyakan padamu!”
Pintu terbuka sejengkal. “Apa?” tanya Lola.
Alex meringis seramah mungkin, walau dahinya berkerut-kerut. “Lihat aku? Aku perempuan!”
Lola mengernyit. “Kau memang perempuan, Alexia.”
“Bukan, bukan!” Alex melirik sekeliling. Sepi. Bagus. Dia berbisik, “Apakah kau menyihirku dari yang tadinya laki-laki menjadi perempuan?”
Pintu dibanting tertutup.
“Lola! Lola!!”
Pintu dibuka sedikit. Hanya mata besar Lola yang terlihat. “Pergilah, Alexia. Kau membuatku takut!”
“Seharusnya yang takut itu aku!” Alex menggebu-gebu. “Aku mendadak berubah jadi perempuan setelah kau mengantarku ke UKS! Demi planet ini, Lola, kembalikan diriku yang lama! Aku suka menjadi laki-laki, aku suka punya jenggot kambing, dan aku suka main sepak bola dengan cowok-cowok beringas itu!”
Lola gemetaran. “Alexia, kau ini memang perempuan. Semua orang di kota ini juga tahu kau seorang perempuan dari lahir hingga segede ini. Mungkin otakmu sudah kecemplung got, jadi kau berpikir kau aslinya laki-laki. Kau cewek tomboi, suka main sepak bola dengan cowok-cowok, dan akhirnya tersungkur kemarin. Siku dan lututmu lecet. Kata Ms. Rita, dia tidak mau kehilangan atlet putri terbaiknya cuma karena cedera—padahal cuma lecet ringan!—jadi dia menyuruhku mengantarmu ke UKS untuk mengobati lecetmu. Ingat?”
Itu gila! Alex memutar ingatannya. Ya ampun, dia memang perempuan!
“Kau seharusnya bersyukur pada dirimu apa adanya,” ujar Lola pelan-pelan. “Aku selalu bersyukur pada diriku apa adanya, walaupun semua orang menganggapku penyihir karena sifat tertutup dan kesukaanku pada… buku cerita.”
Alex meneguk ludahnya sendiri. “Terima… kasih?”
“Tidak masalah,” balas Lola. “Sampai jumpa.” Pintu tertutup lembut.
Alex berbalik cepat-cepat. Kepalanya pening memikirkan apa yang baru saja terjadi. Rasanya sebentar lagi dia harus tidur panjang sampai hari berganti, dan bangun dengan otak segar dan normal. Apa pula yang dia pikirkan, sehingga ingin menjadi laki-laki, padahal dia seorang gadis cantik yang pandai bersosial bahkan dengan cowok-cowok beringas. Jadi perempuan itu bukan halangan untuk berteman dengan cowok-cowok atau bermain sepak bola. Yang membedakan manusia satu dengan manusia lain adalah hati mereka, bukan jenis kelamin.
Astaga! Alex benar-benar ingin tidur panjang.





Ikutan tantangan #FiksiBangunTidur dari @KampusFiksi
Word count: 986


Monday, June 16, 2014

Terimalah Aku


“Aku selalu ingin menolongmu.”
“Begitukah?” Sudut-sudut bibirmu terangkat membentuk seringai. “Tapi kau tidak pernah menolongku sama sekali!”
Seisi kelas menertawakanmu, melemparimu dengan berbagai benda. Kau di pojok kelas, meringkuk sambil menangis. Aku hanya berdiri dan menangisi keadaanmu. Mengingat betapa tololnya aku waktu itu, betapa menderitanya kau, aku malu mengakui keberadaanku di sana.
Mengapa aku tidak coba lakukan sesuatu, selain menonton dengan air mata menetes-netes?
Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu harus apa selain menangis. Kita sama-sama bocah. Kita sama-sama ketakutan.
“Aku tidak butuh. Aku bisa mengatasi segalanya sendiri sekarang,” katamu.
Namun matamu berkata sebaliknya.
Kita memang sudah dewasa sekarang. Walaupun wajah berubah, waktu bergulir jauh, kau tetap gadis kecil yang butuh pertolongan. Aku ingin menebus ketidakberdayaanku waktu itu, Kristy. Terimalah kehadiranku, terimalah penyesalanku.





 Ikut serta dalam tantangan #Fiksilaguku dari @KampusFiksi
Terinspirasi dari lagu Kristy Are You Doing Okay oleh The Offsprings
Word count: 123
 :)


Tuesday, June 3, 2014

Pilihan Maria

NARASI & DIALOG


“Kau tampak buruk sekali di sini,” kata Albert. Matanya terpusat pada sehelai foto yang tersemat dalam buku tahunan SMA Maria. Tulisan besar PESTA DANSA MUSIM SEMI dicetak dengan tinta merah tebal di atas foto-foto murid-murid bergaun dan berjas. Maria dalam foto itu sangat jelek, memang. Seseorang menyiram sirup pada slip dress merah jambunya, lalu blitz kamera memencar ke mana-mana. Biasanya hanya cowok dan cewek populer yang fotonya akan dimuat di halaman khusus pesta dansa dalam buku tahunan, dan aneh rasanya foto Maria bisa dimuat di sana. Lantas, beberapa saat kemudian, Maria tahu semua itu dilakukan untuk mempermalukannya dan gaun basahnya.
“Kenapa kau tidak menghadiri pesta dansa itu? Itu saat-saat bersejarah bagi semua senior di SMA,” sahut Maria, bergeser menjauhi Albert di sofa tempat mereka duduk.
Albert terkikik. “Pesta dansa itu membosankan.”
Maria mengangguk. “Semuanya membosankan karena kau tidak ikut.”
“Dan aku makan burger sendirian.” Albert memandangnya dengan sorot jail. Seringai membentuk di bibirnya. Dia menaikkan kakinya ke meja kopi, hanya beberapa senti dari buku tahunan. “Siapa teman kencanmu waktu itu?”
“James. James bersekongkol dengan orang-orang yang ingin mempermalukanku,” jawab Maria. “Kau benar waktu bilang James hanya mempermainkanku. Aku terlalu senang pada ajakannya ke pesta dansa itu, dan terlanjur setuju.”
Gelak tawa Albert memanasi dada Maria. Maria merasa tolol. Yah, mungkin dia memang tolol. Menuruti ajakan seorang cowok badung macam James, dan mencampakan ajakan kencan makan burger keju dobel dari Albert. Albert ini temannya sejak kecil! Bodoh sekali Maria lebih memercayai James yang masih asing baginya daripada teman sejak kecilnya.
“Oke, aku memang salah,” kata Maria dengan lirih. “Seharusnya aku ikut ajakanmu.”
Albert menyeringai lagi. Maria curiga temannya ini hanya bisa menyeringai. “Baguslah kalau kau sudah sadar. Itu artinya kau mau makan burger keju denganku?”
Maria mengangguk. “Aku tidak akan tertipu lagi sekarang, karena aku memercayaimu.”




***



 NARASI


Mata Albert terpusat pada sehelai foto yang tersemat dalam buku tahunan SMA Maria. Tulisan besar PESTA DANSA MUSIM SEMI dicetak dengan tinta merah tebal di atas foto-foto murid-murid bergaun dan berjas. Dia bilang Maria jelek sekali di fotonya. Gadis itu tahu dirinya memang jelek dengan slip dress merah jambu basah tersiram sirup, dan kejelekan itu diabadikan dalam buku tahunan. Biasanya hanya cowok dan cewek populer yang fotonya akan dimuat di halaman khusus pesta dansa dalam buku tahunan, dan aneh rasanya foto Maria bisa dimuat di sana. Lantas, beberapa saat kemudian, Maria tahu semua itu dilakukan untuk mempermalukannya dan gaun basahnya.
Maria bergeser menjauhi Albert di sofa tempat mereka duduk, dan bertanya pada temannya mengapa dia tidak menghadiri pesta waktu itu. Albert terkikik, mengaku pesta dansa itu membosankan. Albert bukan penggila pesta. Dia lebih memilih makan burger sendirian, karena Maria telah menyetujui ajakan James si cowok badung ke pesta dansa itu.
James bersekongkol dengan orang-orang yang ingin mempermalukan Maria. Dengan sengaja dia mengajak Maria, agar bisa mempermalukannya di depan para murid. Gadis itu merasa sangat tolol sudah menerima ajakannya dan mencampakan Albert. Dia seharusnya mempercayai Albert yang sudah menjadi temannya sejak kecil. Bukan malah tergoda pada ajakan James dan membuang teman sejak kecilnya.
Mengungkapkan penyesalan itu memang memalukan, tapi Maria harus mengungkapkannya pada Albert. Setelah puas menertawainya habis-habisan, Albert mengajak Maria makan burger bersama lagi untuk penebusan penolakan di masa SMA itu. Kali ini Maria tidak menolak atau merasa tertipu, karena dia memercayai Albert.




 Ikutan #narasiVSdialog dari @KampusFiksi
Total word count: 541