Pages

Wednesday, December 24, 2014

A Year Ago

A/N: HAPPY CHRISTMAS, EVERYONE!
Ini fic onsehot yang kubuat untuk merayakan Natal! Well, semoga menghibur yaa :D
Enjoy!
Disclaimer: I own nothing….

A Year Ago

Ventus benci Natal.
Dia duduk di bangku bandara, memangku laptopnya yang menampilkan sederet presentasi dan artikel. Dia tidak pernah menyangka kuliah ternyata seberat ini. Setiap hari selalu berkutat dengan buku dan laptop, bersarang di perpustakaan kampus seperti laba-laba, dan berkeliaran ke sana-ke mari mengejar dosen-dosen untuk perbaikan nilai. Bahkan di hari Natal sekalipun, dia tidak bisa istirahat.
Ventus benci Natal.
Memangnya apa yang bisa dia dapatkan di hari Natal? Hadiah? Dari siapa?
Dia membuka kotak masuk e-mailnya. Ada beberapa e-mail baru dari teman-temannya.

Subjek: Apa kabar?
Hai, Ven! Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Bagaimana kuliahmu? Apa masih sesibuk dulu? Well, setidaknya kau bisa liburan di Hari Natal. Polisi tidak libur di Hari Natal. Tapi aku akan pulang kampung setelah Tahun Baru. Kuharap kita bisa bertemu lagi, Ven.
Oh, ya, Selamat Natal! J

Subjek: DI MANA KAU?
DI MANA KAU? ISA JUGA HILANG! KENAPA AKU DITINGGAL SENDIRI DI ASRAMA???

Subjek: Selamat Natal.
Selamat Natal.
Dari Isa dan keluarga.
Sori, aku pulang duluan. Ada urusan mendadak. Trims, Ven.
P.S Kalau kau mau pulang kampung, pulang saja. Jangan pedulikan Lea.

Subjek: Ke mana kau?
Kau masih hidup?
Kusarankan kau pulang ke rumah tahun ini. Aku dengar dari sepupumu, adikmu yang paling kecil mencoba mengutil di supermarket. Untung saja dia yang memergokinya, kalau tidak, adikmu bakal dibawa ke kantor polisi! Kau harus pulang dan nasihati adik-adikmu! Orangtuamu juga mencemaskanmu.

Ventus menghela napas. Teman-temannya dan mulut besar mereka. Lea dan Isa adalah dua teman sekamarnya. Lea sangat ribut, sementara Isa sangat kalem. Dua pribadi yang bertubrukan itu selalu menyebabkan malapetaka di kamar asrama mereka. Kadang Ventus lebih suka mengabaikan mereka daripada terlibat malapetaka.
Aqua dan Terra dulu kakak kelasnya di SMA, tetangganya juga. Sifat mereka terlalu dewasa untuk usia mereka. Setelah lulus SMA, Aqua mendaftar ke akademi polisi, sedangkan Terra melanjutkan ke universitas di luar negeri.
Sempat Ventus berpikir, dia tidak mungkin bisa mengikuti jejak dua temannya. Dan tiba-tiba keajaiban terjadi. Dia cuma menendang bola sepak itu saja. Cuma sekali, dan bola itu menerobos pertahanan pemain tim musuh sampai ke gawang mereka tepat sebelum peluit tanda pertandingan usai ditiup. Gol ciptaan Ventus memperoleh sorak-sorai paling meriah sekota. Radiant High memenangkan pertandingan sepak bola antar kota dan menjadi idaman para pecinta olahraga. Semua berkat Ventus, si pendek dan kerempeng, pemain cadangan, kacung para pemain inti—dan dia turun ke lapangan karena salah satu pemain cedera—yang mencetak Gol Emas—begitu mereka menyebutnya. Hadiah yang mereka berikan membuat Ventus diterima di Universitas Twilight delapan ratus kilometer dari rumahnya.
“Seharusnya aku tidak pernah mencetak gol itu,” gumamnya, asap putih mengepul dari mulutnya. Perhatiannya teralih kembali pada layar laptop, pada e-mail paling atas.

Subjek: Bego
Oke, akhirnya aku tahu alamat e-mail-mu. Untung saja aku pintar.
Kau ini kenapa, Ven? Orangtuamu sudah mencoba menghubungimu sejak lama, tapi kau bahkan tidak pernah membalas pesan singkat mereka atau mengangkat telepon. Apakah otakmu ketinggalan di lapangan sepak bola itu?
Aku tahu aku kasar, tapi INILAH AKU! Aku cuma mau bilang, kau payah. Kau payah sekali sampai aku malu jadi sepupumu! Untung saja aku tidak punya hubungan darah secara langsung denganmu, tidak seperti adik-adikmu itu. Mereka jadi aneh. Kayak zombi yang tidak pernah makan otak manusia. Terutama Roxas. Aku kasihan pada Bibi Aeris. Paman Cloud tidak pernah mau berhenti menangis.
Sudahlah. Sampai jumpa…. Yah, semoga kita tidak ketemu lagi.

“Menangis?” Ventus mengernyitkan dahi. “Roxas jadi aneh?”
Dulu keluarga Ventus selalu merayakan Natal bersama—setidaknya sampai akhirnya Ventus kuliah. Tahun lalu dia tidak pulang ke rumah untuk merayakan Natal. Dia terlalu sibuk, lebih sibuk dari seekor lebah pekerja. Bahkan makan pun dia lupa, dan dia tidak pernah bisa tidur lebih dari tiga jam sehari. Ibunya menelepon saat Ventus sedang di puncak amarahnya setelah artikel yang sudah susah payah dia tulis terhapus dari memori laptopnya, menyuarakan betapa kecewanya dia pada putra sulungnya.
“Kalau Mammy lebih mementingkan jamuan makan malam murahan dan kotak hadiah yang dibungkus seadanya dengan isi seadanya daripada masa depanku, aku tidak akan pernah pulang ke rumah lagi!”
 “Ven, Sayang, Mammy dan Pappy merindukanmu. Adik-adikmu juga.” Itu ucapan ibunya yang terakhir sebelum Ventus menutup telepon dan membanting ponsel ke lantai asramanya.
Ventus ingat telepon berdering-dering tanpa henti sesaat setelah itu. Dia tidak mengangkatnya. Dia bahkan tidak sudi membaca nama yang ada di layar ponsel. Kemudian dia ingat membenamkan ponselnya ke dalam gelas susu Lea untuk membungkam bunyinya—dan Lea mengamuk hingga tengah malam.
Kini Ventus menyesal telah mengatakan semua itu pada ibunya. Selama setahun, dia merenung dan memaki dirinya sendiri. Bodoh sekali dia. Bodoh sekali!
Sudah setahun berlalu tanpa komunikasi antara dirinya dan keluarganya. Ventus memutuskan untuk pulang dan merayakan Natal bersama keluarganya, meski tumpukan asesmen masih mengintainya—apalagi setelah dia membaca e-mail dari sepupunya. Di dalam tas ranselnya yang besar, dia telah menyiapkan kado-kado untuk orangtuanya dan dua adik kecilnya. Mungkin sudah banyak hal berubah setahun belakangan ini. Mungkin, kepulangannya tahun ini akan menebus kesalahannya tahun lalu.
***
Salju berguguran menyelubungi rumah itu. Putih dan tebal. Asap meliuk-liuk keluar dari cerobong asap di sisi timur genting, lampu kelap-kelip bergelantungan di atas pintu depan. Cahaya lampu menerobos jendela rumah, memancarkan sinar keemasan ke tanah berselimut salju. Ventus bisa mendengar suara tawa dari dalam rumah itu, ditambah dengan aroma masakan. Dia membuka gerbang depan. Jerujinya dingin dan basah.
Melintasi jalan setapak yang tertutup salju, Ventus mengerling sekeliling. Semak-semak bunga kesayangan ibunya hanya tersisa ranting-rantingnya, pepohonan juga. Sepeda anak-anak ditinggalkan di bawah salah satu pohon kering, tertimbun salju. Tanpa sadar dia tersenyum saat ingatannya berlari ke masa lalu ketika dia mengajari adik-adiknya naik sepeda.
“Ventus?”
Ventus tersentak di tempat. Buru-buru dia berbalik. “Siapa?”
Seorang anak kecil berdiri di sana. Dia mengenakan jaket hitam, celana panjang sewarna, dan topi rajut dari wul. Tangannya terselubung sarung tangan wul juga. Dia tampak sangat kedinginan, menggigil dan meniup-niup tangannya.
“Roxas?” Ventus membungkuk menyamai tinggi adiknya. Dia tidak bisa menyembunyikan betapa bahagianya dia melihat adik kecilnya lagi.  Adiknya tampak sedikit lebih tinggi sejak terakhir kali mereka bersama. Dan Roxas tidak kelihatan aneh seperti apa yang Vanitas, sepupunya, tulis dalam e-mail-nya. Salju masih berjatuhan dari langit malam ini, tampak seperti ketombe raksasa di atas topi rajut Roxas. Ventus menyapu salju dari topi rajut dan rambut pirang adiknya. “Hei, kau sudah besar. Tetapi apa yang kaulakukan di luar? Seharusnya kau di dalam, bukan?”
“Kenapa kau di sini? Bukankah seharusnya kau masih kuliah?” anak itu balas bertanya. Matanya yang biru dan besar diarahkan pada mata biru Ventus.
“Aku pulang, Roxas. Untukmu, Sora, Pappy, dan Mammy.” Ventus tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. “Ayo ke dalam.”
Roxas menggenggam tangan kakaknya. “Kita akan makan daging panggang spesial Natal.”
“Ya, daging panggang buatan Mammy.”
“Bukan. Buatan Pappy!”
Ventus meliriknya penuh tanda tanya. “Kenapa bukan Mammy yang memasak?”
Roxas melepas pegangannya dari tangan Ventus, dan melesat ke pintu depan. Tanpa mengetuk, dia mendorong pintu terbuka. Cahaya keemasan membanjiri jalanan bersalju. Anak itu masuk tergesa-gesa, seperti dikejar setan. Ventus mengernyit lagi. Inikah yang Vanitas maksud dengan… aneh?
Mengabaikannya, Ventus melesat ke dalam rumah.
Meletakkan koper di sisi pintu, dia merasakan kehangatan familier rumah itu. Lampu-lampu hias dinyalakan, hiasan-hiasan khas Natal digantung di dinding. Ada pigura-pigura disusun di atas meja kecil. Ventus mengerlingnya. Ada fotonya, adik-adiknya, dan orangtua mereka dalam pigura-pigura. Ventus tidak tahan untuk tidak tersenyum.
“Selamat Natal, Roxas! Dan kau kelihatan seperti tikus kecebur got.”
“Roxas, dari mana saja kau sampai selarut ini?! Bukankah sudah kubilang jangan keluar rumah saat turun salju dan jangan pulang di atas jam 5 sore? Aku hampir menelepon polisi!”
“Ventus di sini.”
Mendengar suara-suara itu, Ventus bergegas menghampirinya. Dia tidak memberitahu keluarganya bahwa dia akan pulang kampung. Ini kejutan. Dan dia sangat berharap kejutan ini akan memperbaiki hubungannya dan keluarganya.
“Oke, kau mulai bicara yang aneh-aneh lagi. Kau dihukum di kamarmu sampai pagi tiba.”
“Tapi dia tidak akan dapat hadiah dari Santa, Pappy! Kasihan Roxas!”
“Sora, apa kau mau dihukum juga?”
Ventus merapat ke dinding yang membatasi ruang keluarga dengan ruang tamu. Perlahan dan tanpa suara, dia melangkah masuk. Di ruang keluarga itu, ruangan kecil dengan perapian bata yang apinya berkobar-kobar, keluarga kecilnya sedang berkumpul. Ada pohon Natal besar di sudut ruangan, penuh lampu dan hiasan berkilau. Kado-kado berserakan di bawah pohon dengan taburan kertas kerlap-kerlip yang dipotong kecil-kecil. Suasananya hangat, lagu-lagu diputar di radio kecil di atas perapian.
“Kejutan! Selamat Natal, semuanya,” sapa Ventus dengan ceria. Namun mendadak dia merasa canggung pada keluarganya sendiri.
“Ventus!” Sora, adik lelakinya yang rambutnya cokelat liar seperti sarang gagak, menghambur ke arahnya. Anak itu memeluknya erat-erat, sesenggukan. “Akhirnya kau pulang juga!” Dia menoleh pada Pappy. “Pappy, Ventus sudah pulang!”
Pappy berdiri dari sofanya. Dia sangat kurus, sehingga sweternya menggelambir di badannya. Rambutnya gondrong, pirang seperti mentega. Raut wajah Pappy tidak sama seperti dulu. Dia terlihat lebih tua dari seharusnya saat menoleh Ventus.
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya keras.
Ventus tersentak. “Pappy, aku pulang untuk merayakan Natal bersama-sama.”
Pappy mendecak, persis orang tua galak dalam film-film. “Bersama? Bagaimana bisa kita dinamakan ‘bersama-sama’ kalau ibumu tidak di sini?”
Kali ini Ventus merasakan jantungnya berdegup terlalu kencang. “Mammy kenapa? Di mana Mammy? Dia tidak ikut merayakan Natal di rumah?”
Sora melepas pelukannya. “Ventus, Mammy….”
Ventus menatapnya nanar. “Kenapa? Mammy mana?”
“Mammy kedinginan,” Roxas menyahut. Anak itu duduk memandang api dalam perapian. “Tadi aku bawakan mantel dan topi untuknya.”
“Ada apa dengannya?” Ventus berteriak. Amarah dan rasa ingin tahu meledak-ledak dalam dadanya. “Ada apa dengan Mammy? Seseorang, beritahu aku!”
“Ventus,” panggil Pappy, “duduklah.”
Meski sungkan, Ventus duduk di samping ayahnya. Dalam jarak sedekat ini, dia bisa mencium bau rokok dari tubuh ayahnya. Rokok dan… alkohol? Sejak kapan ayahnya jadi perokok dan peminum? Mungkin… setahun telah mengubah banyak hal.
“Sora, Roxas, pergilah ke kamar kalian. Kalian tidur duluan,” perintah Pappy.
“Lihat? Inilah alasan mengapa aku tidak suka jadi anak kecil,” Sora menggerutu sambil menghampiri si bontot di depan perapian. “Ayo, Roxas!”
Roxas berdiri dan mengikuti Sora keluar dari ruang keluarga.
Pappy ikut keluar setelah dua anak kecil itu pergi. Ventus menggigil tiba-tiba. Apa yang terjadi? Mengapa sesuatu terasa sedang menjepit jantungnya hingga perih? Apa setahun tanpa kabar bisa membuat segalanya berubah sedrastis ini?
Beberapa menit kemudian Pappy kembali lagi dengan sebotol bir dan dua gelas tinggi. Dia meletakkan gelas-gelas di meja kopi, lalu menuangkan bir.
“Minumlah. Jangan malu-malu,” katanya.
“Aku tidak minum, Pappy. Kau sendiri yang mengajariku agar tidak jadi pemabuk, bukan?”
“Kupikir kau sudah melupakanku.” Pappy meneguk minumannya sendiri. “Setahun tanpa kabar. Ngerti, kan?”
“Aku… minta maaf.”
“Aku sudah memaafkanmu sejak aku melihatmu di rumah ini lagi, Ventus,” kata Pappy datar. “Aku yakin ibumu juga.”
Ventus teringat pada ibunya lagi. “Di mana Mammy? Aku… aku ingin minta maaf padanya juga.”
Pappy menuang ke gelasnya. “Ibumu sudah tidak ada.”
Seperti baru disambar petir, Ventus terpaku di tempat. Seluruh suara lenyap, menyisakan gemuruh debaran jantungnya sendiri. Tubuhnya yang tadi dingin sekarang mendadak panas, kulitnya mengejang hingga rasanya akan segera robek. Ucapan ayahnya…. Itu tidak benar, bukan?
“Dia meninggal setahun lalu, Ventus,” Pappy melanjutkan sambil menyeruput isi gelasnya. “Sakit parah. Dokter menyerah. Dan dia menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit. Roxas ada di sana waktu itu. Aku sudah melarangnya, tapi anak itu nekat. Kematian Aeris di depan matanya membuatnya agak… aneh.”
Ventus tidak bisa berkata-kata.
“Ibumu mencintaimu. Dia selalu memanggil namamu dalam tidurnya, bahkan dalam napas terakhirnya.” Pappy menarik napas panjang. “Dia selalu mencintaimu, Nak. Selalu.”
Ventus menelan ludah, lalu, “Me-mengapa tidak ada yang mengabariku? Mengabariku bahwa Mammy sakit, bahwa Mammy membutuhkanku di sisinya saat Tuhan menjemputnya? Mengapa aku tidak tahu apa-apa? Aku belum mati! Demi Tuhan, aku belum mati seperti apa yang kalian pikirkan!”
Pappy hanya mengerjap-ngerjap mirip orang bodoh. “Aku depresi setelah Aeris pergi. Bos menendangku keluar dari kantor, dan aku harus memohon ke sana-sini agar dapat pekerjaan baru. Sora mencoba menjadi sosok seorang ibu, tapi gagal total. Roxas menderita kelainan mental—skizofrenia, kalau tidak salah. Tetangga mencemooh kami, lalu akhirnya aku jadi seperti yang kau lihat sekarang ini. Bapak tua pemabuk, perokok berat, galak, dan agak sinting. Aku hampir menyerahkan adik-adikmu ke pamanmu karena aku takut aku akan melukai mereka saat aku mabuk. Dan bagiku saat itu, kau sudah mati, Ventus…. Tidak ada gunanya mencoba menghubungi orang yang sudah mati….”
“Tidak…. Tidak!” Ventus berdiri dari sofa. “Ini bodoh! Ini… tidak masuk akal!”
Pappy minum lagi. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Ventus. Seperti itulah yang kurasakan setahun lalu.”
Ventus Strife teringat malam setahun lalu, saat ibunya memohon agar dia pulang ke rumah untuk menyingkirkan sejenak kesibukan kuliahnya agar dia dapat berkumpul bersama keluarganya. Ventus Strife teringat saat dia berteriak pada wanita itu, mengatainya tidak peduli pada masa depannya. Ventus Strife teringat betapa sialan dirinya, bagaimana dia telah berubah dari sosok anak lelaki naif menjadi sesosok bajingan. Bajingan yang telah menyakiti hati lembut ibunya, hati lembut yang dulu selalu menjadi tempatnya bersandar dan menangis.
Ventus Strife berlutut di lantai ruang keluarga itu.
“Maafkan aku…. Pappy, maafkan aku….” Air matanya meluap keluar dari kelopak mata, mengalir menuruni pipi dan menetes-netes. Tubuhnya berguncang, jantungnya nyeri. Meremas tinjunya sendiri, Ventus merasa jijik pada dirinya setahun lalu. “Aku… khilaf. Aku… seharusnya pulang waktu itu. Karena ini rumahku, tempatku pulang. Tempat di mana semuanya menantikanku, menyayangiku, dan mendukungku. Bagaimana bisa aku lebih mementingkan kuliahku daripada keluargaku?! Pappy, aku menyesal. Aku menyesali semua yang telah kukatakan pada Mammy setahun lalu.”
“Hal paling penting dalam hidup, Ventus,” kata ayahnya dengan tenang, “bukan dari mana kau berasal, tapi ke mana tujuanmu. Ikuti hatimu. Hatimu adalah pemandu terbaikmu. Dan dia akan memandumu ke tujuanmu, ‘rumah’.”
“Dan hatiku telah memanduku kembali ke sini, ke tujuanku, ke rumahku. Keluargaku.” Air matanya masih mengucur. Dia yakin dia terlihat sangat aneh dan menyeramkan sekarang.
“Ibumu selalu mengatakannya,” lanjut Pappy. “Dia wanita terbaik yang pernah kutemui.”
“Aku tidak pernah sempat memberitahunya bahwa aku mencintainya, bahwa aku sangat bahagia telah dilahirkan sebagai putranya.” Ventus mengusap air matanya. “Bahwa aku menyesal….”
“Dia telah memaafkanmu, Nak. Dia telah memaafkanmu.” Ayahnya ikut berlutut di sampingnya, lalu membungkus tubuh pemuda itu dengan kedua tangan kurusnya. “Aeris mencintaimu, sebagaimana aku mencintaimu. Ventus, anak kami, di mana pun kau berada, menjadi apa pun kau nantinya, kau tetap bayi kecil kami yang berharga.”
“Maafkan aku…. Maafkan aku….”
Salju berguguran makin cepat, makin deras. Suaranya menghantam kaca jendela bersahut-sahutan dengan lagu-lagu yang masih berputar. Kehangatan di rumah itu membuat Ventus Strife serasa melayang, melambung hingga menembus awan-awan. Jam dinding berdentang di angka dua belas, gemerincing lonceng dan petasan memenuhi malam Natal itu.
***
Roxas berlarian di jalanan pemakaman yang putih bersih. Sora di belakangnya, tersandung tumpukan salju dan terjerembab.
“Tunggu!” Dia bangkit lagi, dan mengejar adiknya lagi.
“Dasar curang!” Roxas berteriak saat Sora mendorongnya hingga terjatuh.
“Sora, jangan lakukan itu pada adikmu!” ayah mereka berteriak. Sora cuma cekakakan sambil berlari makin kencang.
Ventus mengikuti di belakang dua adiknya dan ayah mereka. Hari ini tidak sedingin kemarin, matahari bahkan bersinar terang. Dia menimang karangan bunga di tangannya, mengendusnya sesekali. Pappy bilang Mammy dimakamkan di pemakaman umum Radiant. Dia bahkan bilang bahwa dia telah memesan satu tempat di samping makam Mammy untuk dirinya kelak. Cinta sejati memang tidak pernah mati, bukan?
Mereka berhenti di depan nisan besar berukir gambar bunga. Ada mantel merah jambu dan topi rajut merah di depan nisan itu. Sepertinya itu benda-benda yang Roxas letakan kemarin malam.
Ventus berlutut di depan nisan. “Hai, Mammy. Ini aku Ventus.” Dia meletakkan karangan bunga. “Aku beli ini untukmu. Mungkin kurang bagus, karena harganya murah. Tapi aku menggunakan uang tabunganku sendiri untuk bunga ini.”
“Katakanlah,” sahut ayahnya.
Ventus mengangguk. “Setahun lalu aku tidak pernah sempat mengatakan ini padamu.” Dia tersenyum. “Selamat Natal, Mammy.”
Suara gelak tawa dan teriakan adik-adiknya terdengar di belakang disertai gerasak-gerusuk salju yang terinjak. Angin berembus pelan, menciptakan siul saat melintasi ranting-ranting dan batu-batu nisan lainnya. Sayup-sayup Ventus mendengar,
“Selamat Natal juga, Ventus Sayang. Aku mencintaimu.”
“Aku juga.”

FIN

TRIVIA
Usia Ventus di cerita ini 20 tahun. Sora 10 tahun, dan Roxas 9 tahun.
Inspirasi berdasarkan dari listening take home assignment yang saya dapat pas semester 2. Judulnya Christmas Lights. Inspirasi lainnya berasal dari temen saya. Hehee :D

Happy Christmas!

Tuesday, July 15, 2014

CANNAREGIO: Valentine Berdarah Mercurio


JUDUL: Cannaregio: Valentine Berdarah Mercurio
PENULIS: Giovani Rahmatullah Rizal, dkk
PENERBIT: de Teens
Tahun: 2014















Halo!
Inilah postingan pertama saya di bulan Juli. Juli ini saya ragu bisa post cerpen. Saya sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) di luar kota, dan nggak boleh pulang. Di tempat KKN saya nggak ada sinyal dan saya nggak punya modem (selama ini modem pakainya gantian sama adek. Adek KKN di tempat lain :') ). Sekarang ini, saat saya nulis postingan, saya sedang ambil ijin untuk ngurus tetek bengek di kampus, jadi saya pulang ke Singaraja sama adek saya. Jujur, saya sungkan balik lagi ke tempat KKN.

I used to hate Singaraja's hot weather, but now I damn love it!


JRENG JRENG JRENGGGGGG KEGALAUAN MAHASISWA TINGKAT LANGIT LAPISAN KETUJUH BELAS DIMULAI!


#lupakan yang di atas tadi




CANNAREGIO berisi 20 cerpen horor bersetting luar negeri. Cerpen-cerpen ini didapatkan dari event #Hororkotadunia yang diselenggarakan oleh DIVA Press dan Kampus Fiksi pada Februari 2014 lalu. Tanggal 16 Maret 2014, pengumuman 20 nominator pun dikumandangkan. Saya nyengir dan mewek bombai saat melihat nama saya ada dalam daftar 20 nominator itu :')


Ok, saya ingin curcol dikit soal perjuangan (OMG HELLO PERJUANGAN BEROO) saya dalam event #Hororkotadunia ini.

Awalnya, saya membuat cerpen dengan latar kota di Jerman, di mana semua penduduknya dibantai. Saya lupa nama kotanya. Cerpen itu tidak selesai saya tulis, karena tidak cocok dengan tema :')
Begini cuplikannya:
Semuanya semakin kacau. Rasa panas dan sakit semakin menjadi-jadi. Dia sadar, pakaiannya terbakar. Api merambat masuk ke celah lengan pakaiannya, dan memanggang kulitnya. Dia tamat.


Lalu saya kesemsem sama legenda The Green Lady dari Prancis. Semua berkat cerita flash yang tidak sengaja saya baca. Saya seketika membuat cerpen berdasar legenda The Green Lady dari Prancis. Karakter utama dalam cerpen saya bernama Clair Marmalade (karena waktu itu saya juga lagi kecanduan Candy Crush. Note: Marmalade itu sirup buah. Di Candy Crush, marmalade ngebungkus permen, jadi permen nggak bakal pindah tempat. Harus di-match supaya bisa pindah dan ngasih tempat buat permen lain :P ). Clair adalah seorang pembantu rumah tangga di Chateau de Brissac. Bosnya adalah Madame Charlotte dan Monsieur Jacquese de Breze. Dia punya pacar namanya Raymond le Courier. Cerpen ini selesai saya buat, tapi karena setting waktunya yang di pertengahan abad 15, saya pun scrap cerpen ini :')
Begini cuplikannya:
Kelakuan Madame Charlotte waktu itu terus berulang hingga hari ini. Dihitung-hitung, sudah seminggu dia mengetuk pintu, melongok ke dalam, dan berkata dia mencari Raymond.


Cerpen ketiga saya mengambil setting di Irlandia, tepatnya di Carlow Shopping Center. Berkisah tentang Liam, pengunjung pusat perbelanjaan, yang bertemu dengan anak kecil misterius dan kakak perempuannya yang cantik. Namun ternyata anak itu dan kakak perempuannya menyimpan rahasia kelam…. JDER! Cerpen ini di-scrap karena tidak adanya chemistry antara tokoh (halaah x_x)
Begini cuplikannya:
Gadis bergaun putih itu tersenyum. “Fiona.”
“Oke, Fiona, aku harap kau bisa menjaga adikmu lebih baik lagi. Tidak baik anak kecil berlarian di pusat perbelanjaan luas ini sendirian,” Liam menasehati. Kepalanya serasa menggembung karena kesombongan. “Kudengar Carlow Shopping Center ini berhantu, lho.”


Cerpen keempat lagi-lagi di tempat yang sama dengan cerpen ketiga. Tokoh utamanya masih tetap Liam dan si anak kecil misterius. Karakter Fiona di-scarp dan digantikan dengan Lucy. Dalam cerpen ini, Liam adalah pelayan restoran yang akrab dengan pelanggan setia restoran bernama Lucy. Pada suatu sore, Lucy mengajak seorang anak kecil bersamanya. Kehadiran anak kecil itu membawa bencana bagi hidup Liam dan Carlow Shopping Center. Namun cerpen ini memiliki alur rumit, maka saya scrap.
Begini cuplikannya:
Lucy datang lagi ke kafe. Dia seorang wanita pelanggan setia kafe, lumayan ramah, tapi agak sinting. Liam menganggapnya demikian karena wanita itu selalu datang setiap matahari menjelang tenggelam, dan mengenakan gaun hitam penuh noda berlengan gembung.


Cerpen kelima bersetting di Amerika Serikat. Opsir William ‘Liam’ Hamilton (oke, oke, saya memang agak stress kalau mikir nama, jadi nama Liam pun saya pakai berkali-kali :P ) mengunjungi adik lelakinya, Abel, yang menderita gangguan kejiwaan di Denver Mental Hospital. Pembunuhan sadis dan berantai terjadi di rumah sakit tersebut, sehingga William memutuskan bermalam di sana untuk menunggui adiknya. Cerpen ini pun selesai saya buat. Namun saya scrap lagi karena alurnya yang rumit. :')
Begini cuplikannya:
Sia-sia. Pria botak itu malah menerjang Abel dengan belati terarah pada wajah pemuda tersebut. Liam kalut. Dia menekan pelatuk pistolnya, dan peluru mendesing menembus pelipis kanan pria botak itu.


Mari kita beranjak ke cerpen keenam. Di gedung kantor polisi Richmond, Samuel, polisi kroco, dihantui oleh sesosok makhluk. Mr. Conte, pemilik kedai kopi di seberang gedung kantor polisi, menjadi satu-satunya tempat baginya untuk bercurah. Namun Mr. Conte ternyata menyimpan rahasia kelam yang berhubungan dengan Samuel dan temannya, Julian Roth. Cerpen ini juga selesai saya buat, bahkan saya sampai memutuskan akan mengirim cerpen yang ini. Namun saya urung karena kesan seram dalam cerpen ini tidak tersampaikan kepada beta-reader..... :')
Begini cuplikannya:
Keletak-keletik mesin tik terdengar. Tombol-tombolnya tertekan oleh angin, dan mencetak tulisan pada kertas yang terjepit. Sam bergidik, dan mundur sejurus. Tulisan pada kertas itu terbaca:
‘NAMAKU SAMUEL’


Berikutnya cerpen ketujuh. Inilah cerpen yang akhirnya saya kirim dan dimuat dalam antologi CANNAREGIO. Idenya berasal dari game S.T.A.L.K.E.R. Call of Pripyat. Tentang mutan, tapi di cerpen saya ganti menjadi manusia yang terkontaminasi sisa radiasi nuklir dari kebocoran Pabrik Chernobyl. Nikolai, alias Niko (OK, saya suka GTA IV, dan saya suka dengan cara Roman memanggil sepupunya dengan "Hey, Niko!") , seorang saintis yang melihat sekelompok orang tanpa baju anti radiasi berkeliaran di Zona Alienation Pripyat. Dia ingin menolong mereka dari radiasi, meski temannya, Viktor, tidak percaya Nikolai melihat orang.
Cerpen ini saya buat dalam sekitar dua atau tiga hari. Namun sebelum saya mengirimnya, saya sempatkan diri untuk menulis cerpen ketujuh.
Begini cuplikannya:
“Siapa?” Nikolai berbisik, heran. Bayangan si pemuda beringsut lolos dari bulatan sinar senter. Nikolai keluar dari kantong tidurnya, mengenakan baju anti radiasi, dan mengendap keluar dari kamp bersama senternya.


Cerpen kedelapan berlatar London, di Madame Tussaud Museum yang menjadi tempat penyimpanan patung lilin para korban Revolusi Prancis termasuk patung lilin kepala Raja Louis dan Marie Antoinette yang dihukum penggal dalam Revolusi Prancis. Bercerita tentang Oliver Kaufmann sang pemahat patung lilin, tapi cerpen ini tidak selesai saya tulis.
Tapi beginilah cuplikannya:
Suara orang berbincang-bincang terdengar memenuhi lorong-lorong museum yang temaram. Oliver berhenti sejenak, mendengarkan. Ada orang lain selain dirinya dan para satpam di museum ini. Bukankah sekarang sudah jam tutup museum?

Entah kenapa, saya merasa sangat lelah saat menulis crpen kedelapan. Maka saya kirimkanlah cerpen ketujuh berlatar Pripyat.
Dan cerpen ketujuh saya LOLOS!!

HURRAAY!!




Demikian isi curcolan saya. Semoga tidak merobek mata, ya. Heheee.
Terima kasih sudah baca curcolan saya.
Jangan lupa beli CANNAREGIO di toko buku terdekat!
:D












Sunday, June 22, 2014

Sihir Lola




“Alex, kau mau tidur sampai kapan? Sampai matahari berkembangbiak?!”
Alex mendelik dan bangkit dari tempat tidurnya cepat-cepat. Kedua kakinya berayun turun. Di lantai, selop merah jambu dengan kepala beruang menyembul di ujungnya siap menerima kakinya. Wah, Alex tidak ingat dia punya selop boneka.
Dia melangkah malas ke kamar mandi. Cermin memantulkan wajah seorang gadis bermata biru bulat dan rambut cokelat berpotongan bob sepanjang dagu. Dia manis, apalagi ketika sedang menunjukkan deretan giginya yang besar-besar dan tidak rata. Ada lesung pipit di sisi kanan mulut mungilnya.
Lantas Alex sadar dia sedang memandang cermin. Lantas dia sadar, itu pantulan dirinya sendiri. Seorang gadis manis berlesung pipit. Wah, bukankah Alex….
“Mammy!!”
Mammy berdebum masuk ke kamar mandi. Dia memandang anaknya dengan mata melebar sempurna. “Ada apa, Alex? Ada tikus? Kecoa? Buaya di lubang kloset?”
Kedua lutut Alex berguncang. Dia mundur sejurus, menuding cermin seolah sedang menuding setan. “Itu… itu…. Demi Tuhan, apa itu aku?”
Mammy memandang cermin. “Ya, itu kau, Alexia sayang. Apa anehnya?”
“Itu perempuan! Aku kan laki-laki!”



***



“Nah, Alexia… err, maksudku, Alexander, kita mulai dengan pertanyaan sederhana.”
Alex memerhatikan kakinya. Gila. Dia mengenakan sandal kuning dengan bunga matahari besar di ujungnya. Kenapa pula dia mau mengenakan summer dress selutut berwarna kuning cerah dengan motif bunga-bunga, dipadu dengan kardigan rajut merah? Dia merasa benar-benar sudah menjadi perempuan! Maksudnya, dia ini laki-laki!
“Kapan Anda menyadari… err, keanehan ini?” tanya dokter psikolog itu—lelaki tua berhidung bengkok, berkacamata sebesar lingkar cangkir kopi, dan bersenjata pulpen dan buku tulis.
“Pagi ini,” jawab Alex. “Aku bangun tidur, dan mendadak aku jadi perempuan.”
“Jadi Anda ingat Anda aslinya laki-laki?” tanya sang dokter.
“Aku laki-laki sejak dilahirkan. Maksudku, coba saja tanyakan pada orangtua dan teman-temanku.”
Sang dokter mencatat. “Ini sungguh…. Bagaimana mengatakannya, ya? Ini aneh. Anda tidak punya riwayat penyakit… jiwa?”
Alex tidak menjawab.
Dokter berdeham. “Maaf, lupakan saja pertanyaan itu. Masuk ke bagian selanjutnya, apakah Anda ingat melakukan sesuatu kemarin?”
Alex mengingat-ingat. Kemarin Jumat, pelajaran olahraga di sekolah diajar oleh Ms. Rita. Dia main sepak bola dengan cowok-cowok beringas, tersungkur saat berusaha menggocek bola, siku dan lututnya lecet. Mr. Rita meminta salah satu murid cewek mengantarnya ke UKS, dan cewek itu adalah Lola.
“Aku ke UKS bersama Lola.”
“Itu saja?” tanya dokter, menurunkan kacamatanya hingga ke ujung hidung.
“Ya, itu saja…. Kurasa.”
Lola seorang penyihir. Begitu yang dikatakan semua murid. Dia bisa mengubah cangkir jadi kodok, kodok jadi buku, buku jadi kursi, dan akhirnya kursi jadi sesosok makhluk pendek berhidung besar dengan bisul-bisul kemerahan di permukaannya. Gosip.
“Lola seorang penyihir,” kata Alex.
Dokter mencatat dengan serius. “Anda pergi ke UKS bersama seorang penyihir bernama Lola. Menarik. Apakah menurut Anda, penyihir itu yang mengubah jenis kelamin Anda?”
Alex terdiam. Kepalanya kembali terisi penuh dengan ingatan tentang kemarin.
Lola mengantarnya ke UKS. Kalau saja tidak ada gosip mengenai Lola itu penyihir, dia bisa saja jadi cewek populer di sekolah. Gadis itu cukup manis dengan mata cokelat sebesar jeruknya, dan rambut hitam bergelombang sepanjang pinggul. Andai dia juga mau berkumpul dengan orang lain, mengobrol, dan berteman, dia pasti akan semakin populer.
Di UKS itu, Lola mengambilkan obat lecet untuk Alex. Gadis itu menungguinya selama beberapa detik, kemudian beranjak ke pintu UKS.
“Trims!” Alex berseru kepadanya.
Lola hanya mengangguk.
“Kau harus lebih sering bersosialisasi,” kata Alex.
Kali ini Lola tidak mengangguk. Dia keluar dari UKS dan membanting pintu di belakang punggungnya.
“Yah, mungkin Lola marah padaku,” kata Alex kepada dokter. “Katanya dia itu penyihir.”
“Mengejek penyihir, lantas disihir.” Dokter mencatat.
“Jadi bagaimana?”
“Saya sarankan Anda pergi menemui Lola si penyihir ini. Saya yakin dialah satu-satunya yang bisa menyembuhkan Anda.”
Alex tidak tahu mengapa dia mau menghamburkan uang untuk dokter tak ahli yang mengaku ahli ini.


***


Rumah Lola terletak di pinggiran kota. Rumah itu menguarkan hawa suram mencekik dari setiap sudutnya. Halamannya gersang, cat putih dinding rumah telah ternoda kuning tanda usia, dan gentingnya dihinggapi gagak-gagak.
Alex menekan bel rumah itu. Sejenak berlalu, pintu dibuka oleh si gadis bermata jeruk.
“Hai,” sapa Alex.
Lola menutup pintu cepat-cepat.
Menggedor pintu, Alex berteriak, “Lola, buka pintunya! Ada yang ingin kutanyakan padamu!”
Pintu terbuka sejengkal. “Apa?” tanya Lola.
Alex meringis seramah mungkin, walau dahinya berkerut-kerut. “Lihat aku? Aku perempuan!”
Lola mengernyit. “Kau memang perempuan, Alexia.”
“Bukan, bukan!” Alex melirik sekeliling. Sepi. Bagus. Dia berbisik, “Apakah kau menyihirku dari yang tadinya laki-laki menjadi perempuan?”
Pintu dibanting tertutup.
“Lola! Lola!!”
Pintu dibuka sedikit. Hanya mata besar Lola yang terlihat. “Pergilah, Alexia. Kau membuatku takut!”
“Seharusnya yang takut itu aku!” Alex menggebu-gebu. “Aku mendadak berubah jadi perempuan setelah kau mengantarku ke UKS! Demi planet ini, Lola, kembalikan diriku yang lama! Aku suka menjadi laki-laki, aku suka punya jenggot kambing, dan aku suka main sepak bola dengan cowok-cowok beringas itu!”
Lola gemetaran. “Alexia, kau ini memang perempuan. Semua orang di kota ini juga tahu kau seorang perempuan dari lahir hingga segede ini. Mungkin otakmu sudah kecemplung got, jadi kau berpikir kau aslinya laki-laki. Kau cewek tomboi, suka main sepak bola dengan cowok-cowok, dan akhirnya tersungkur kemarin. Siku dan lututmu lecet. Kata Ms. Rita, dia tidak mau kehilangan atlet putri terbaiknya cuma karena cedera—padahal cuma lecet ringan!—jadi dia menyuruhku mengantarmu ke UKS untuk mengobati lecetmu. Ingat?”
Itu gila! Alex memutar ingatannya. Ya ampun, dia memang perempuan!
“Kau seharusnya bersyukur pada dirimu apa adanya,” ujar Lola pelan-pelan. “Aku selalu bersyukur pada diriku apa adanya, walaupun semua orang menganggapku penyihir karena sifat tertutup dan kesukaanku pada… buku cerita.”
Alex meneguk ludahnya sendiri. “Terima… kasih?”
“Tidak masalah,” balas Lola. “Sampai jumpa.” Pintu tertutup lembut.
Alex berbalik cepat-cepat. Kepalanya pening memikirkan apa yang baru saja terjadi. Rasanya sebentar lagi dia harus tidur panjang sampai hari berganti, dan bangun dengan otak segar dan normal. Apa pula yang dia pikirkan, sehingga ingin menjadi laki-laki, padahal dia seorang gadis cantik yang pandai bersosial bahkan dengan cowok-cowok beringas. Jadi perempuan itu bukan halangan untuk berteman dengan cowok-cowok atau bermain sepak bola. Yang membedakan manusia satu dengan manusia lain adalah hati mereka, bukan jenis kelamin.
Astaga! Alex benar-benar ingin tidur panjang.





Ikutan tantangan #FiksiBangunTidur dari @KampusFiksi
Word count: 986


Monday, June 16, 2014

Terimalah Aku


“Aku selalu ingin menolongmu.”
“Begitukah?” Sudut-sudut bibirmu terangkat membentuk seringai. “Tapi kau tidak pernah menolongku sama sekali!”
Seisi kelas menertawakanmu, melemparimu dengan berbagai benda. Kau di pojok kelas, meringkuk sambil menangis. Aku hanya berdiri dan menangisi keadaanmu. Mengingat betapa tololnya aku waktu itu, betapa menderitanya kau, aku malu mengakui keberadaanku di sana.
Mengapa aku tidak coba lakukan sesuatu, selain menonton dengan air mata menetes-netes?
Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu harus apa selain menangis. Kita sama-sama bocah. Kita sama-sama ketakutan.
“Aku tidak butuh. Aku bisa mengatasi segalanya sendiri sekarang,” katamu.
Namun matamu berkata sebaliknya.
Kita memang sudah dewasa sekarang. Walaupun wajah berubah, waktu bergulir jauh, kau tetap gadis kecil yang butuh pertolongan. Aku ingin menebus ketidakberdayaanku waktu itu, Kristy. Terimalah kehadiranku, terimalah penyesalanku.





 Ikut serta dalam tantangan #Fiksilaguku dari @KampusFiksi
Terinspirasi dari lagu Kristy Are You Doing Okay oleh The Offsprings
Word count: 123
 :)


Tuesday, June 3, 2014

Pilihan Maria

NARASI & DIALOG


“Kau tampak buruk sekali di sini,” kata Albert. Matanya terpusat pada sehelai foto yang tersemat dalam buku tahunan SMA Maria. Tulisan besar PESTA DANSA MUSIM SEMI dicetak dengan tinta merah tebal di atas foto-foto murid-murid bergaun dan berjas. Maria dalam foto itu sangat jelek, memang. Seseorang menyiram sirup pada slip dress merah jambunya, lalu blitz kamera memencar ke mana-mana. Biasanya hanya cowok dan cewek populer yang fotonya akan dimuat di halaman khusus pesta dansa dalam buku tahunan, dan aneh rasanya foto Maria bisa dimuat di sana. Lantas, beberapa saat kemudian, Maria tahu semua itu dilakukan untuk mempermalukannya dan gaun basahnya.
“Kenapa kau tidak menghadiri pesta dansa itu? Itu saat-saat bersejarah bagi semua senior di SMA,” sahut Maria, bergeser menjauhi Albert di sofa tempat mereka duduk.
Albert terkikik. “Pesta dansa itu membosankan.”
Maria mengangguk. “Semuanya membosankan karena kau tidak ikut.”
“Dan aku makan burger sendirian.” Albert memandangnya dengan sorot jail. Seringai membentuk di bibirnya. Dia menaikkan kakinya ke meja kopi, hanya beberapa senti dari buku tahunan. “Siapa teman kencanmu waktu itu?”
“James. James bersekongkol dengan orang-orang yang ingin mempermalukanku,” jawab Maria. “Kau benar waktu bilang James hanya mempermainkanku. Aku terlalu senang pada ajakannya ke pesta dansa itu, dan terlanjur setuju.”
Gelak tawa Albert memanasi dada Maria. Maria merasa tolol. Yah, mungkin dia memang tolol. Menuruti ajakan seorang cowok badung macam James, dan mencampakan ajakan kencan makan burger keju dobel dari Albert. Albert ini temannya sejak kecil! Bodoh sekali Maria lebih memercayai James yang masih asing baginya daripada teman sejak kecilnya.
“Oke, aku memang salah,” kata Maria dengan lirih. “Seharusnya aku ikut ajakanmu.”
Albert menyeringai lagi. Maria curiga temannya ini hanya bisa menyeringai. “Baguslah kalau kau sudah sadar. Itu artinya kau mau makan burger keju denganku?”
Maria mengangguk. “Aku tidak akan tertipu lagi sekarang, karena aku memercayaimu.”




***



 NARASI


Mata Albert terpusat pada sehelai foto yang tersemat dalam buku tahunan SMA Maria. Tulisan besar PESTA DANSA MUSIM SEMI dicetak dengan tinta merah tebal di atas foto-foto murid-murid bergaun dan berjas. Dia bilang Maria jelek sekali di fotonya. Gadis itu tahu dirinya memang jelek dengan slip dress merah jambu basah tersiram sirup, dan kejelekan itu diabadikan dalam buku tahunan. Biasanya hanya cowok dan cewek populer yang fotonya akan dimuat di halaman khusus pesta dansa dalam buku tahunan, dan aneh rasanya foto Maria bisa dimuat di sana. Lantas, beberapa saat kemudian, Maria tahu semua itu dilakukan untuk mempermalukannya dan gaun basahnya.
Maria bergeser menjauhi Albert di sofa tempat mereka duduk, dan bertanya pada temannya mengapa dia tidak menghadiri pesta waktu itu. Albert terkikik, mengaku pesta dansa itu membosankan. Albert bukan penggila pesta. Dia lebih memilih makan burger sendirian, karena Maria telah menyetujui ajakan James si cowok badung ke pesta dansa itu.
James bersekongkol dengan orang-orang yang ingin mempermalukan Maria. Dengan sengaja dia mengajak Maria, agar bisa mempermalukannya di depan para murid. Gadis itu merasa sangat tolol sudah menerima ajakannya dan mencampakan Albert. Dia seharusnya mempercayai Albert yang sudah menjadi temannya sejak kecil. Bukan malah tergoda pada ajakan James dan membuang teman sejak kecilnya.
Mengungkapkan penyesalan itu memang memalukan, tapi Maria harus mengungkapkannya pada Albert. Setelah puas menertawainya habis-habisan, Albert mengajak Maria makan burger bersama lagi untuk penebusan penolakan di masa SMA itu. Kali ini Maria tidak menolak atau merasa tertipu, karena dia memercayai Albert.




 Ikutan #narasiVSdialog dari @KampusFiksi
Total word count: 541